KEBUDAYAAN TORAJA
Kebudayaan
Suku TORAJA adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara
Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 600.000 jiwa.
Mereka juga menetap di sebagian dataran Luwu dan Sulawesi Barat.
Nama Toraja
mulanya diberikan oleh suku Bugis Sidenreng dan dari Luwu. Orang Sidenreng
menamakan penduduk daerah ini dengan sebutan To Riaja yang mengandung arti
"Orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan", sedang orang
Luwu menyebutnya To Riajang yang artinya adalah "orang yang berdiam di
sebelah barat". Ada juga versi lain bahwa kata Toraya asal To = Tau
(orang), Raya = dari kata Maraya (besar), artinya orang orang besar, bangsawan.
Lama-kelamaan penyebutan tersebut menjadi Toraja, dan kata Tana berarti negeri,
sehingga tempat pemukiman suku Toraja dikenal kemudian dengan Tana Toraja.
Wilayah Tana
Toraja juga digelar Tondok Lilina Lapongan Bulan Tana Matari allo arti
harfiahnya adalah "Negeri yang bulat seperti bulan dan matahari".
Wilayah ini dihuni oleh etnis Toraja.
Kebudayaan Suku
Toraja
Asal masyarakat
Tana Toraja.
Konon, leluhur
orang Toraja adalah manusia yang berasal dari nirwana, mitos yang tetap
melegenda turun temurun hingga kini secara lisan dikalangan masyarakat Toraja
ini menceritakan bahwa nenek moyang masyarakat Toraja yang pertama menggunakan
"tangga dari langit" untuk turun dari nirwana, yang kemudian
berfungsi sebagai media komunikasi dengan Puang Matua (Tuhan Yang Maha Kuasa).
Lain lagi versi
dari DR. C. Cyrut seorang anthtropolog, dalam penelitiannya menuturkan bahwa
masyarakat Tana Toraja merupakan hasil dari proses akulturasi antara penduduk
local atau pribumi yang mendiami daratan Sulawesi Selatan dengan pendatang
imigran dari Teluk Tongkin-Yunnan, daratan China Selatan. Proses pembauran
antara kedua masyarakat tersebut, berawal dari berlabuhnya Imigran Indo China
dengan jumlah yang cukup banyak di sekitar hulu sungai yang diperkirakan
lokasinya di daerah Enrekang, kemudian para imigran ini, membangun pemukimannya
di daerah tersebut.
Kebudayaan Suku
Toraja
Sejarah Aluk
Konon manusia
yang turun ke bumi, telah dibekali dengan aturan keagamaan yang disebut aluk.
Aluk merupakan aturan keagamaan yang menjadi sumber dari budaya dan pandangan
hidup leluhur suku Toraja yang mengandung nilai-nilai religius yang mengarahkan
pola-pola tingkah laku hidup dan ritual suku Toraja untuk mengabdi kepada Puang
Matua.
Cerita tentang
perkembangan dan penyebaran Aluk terjadi dalam lima tahap, yakni:
Tipamulanna
Aluk ditampa dao langi' yakni permulaan penciptaan Aluk diatas langit, Mendemme'
di kapadanganna yakni Aluk diturunkan kebumi oleh Puang Buru Langi' dirura.
Kedua tahapan
ini lebih merupakan mitos. Dalam penelitian pada hakekatnya aluk merupakan
budaya/aturan hidup yang dibawa kaum imigran dari dataran Indo China pada
sekitar 3000 tahun sampai 500 tahun sebelum masehi.
Kebudayaan Suku
Toraja
Kambira –
Kuburan Bayi
Seseorang bayi yang belum tumbuh gigi apabila meninggal dunia akan
dikuburkan ke dalam sebatang pohon kayu yang hidup dari jenis pohon kayu Tarra.
Kayu yang digunakan dilokasi ini telah berumur sekitar ± 300 tahun yang lalu.
Proses pelaksanaan pekuburan sejenis ini mengenal tahap-tahap sebagai berikut:
Bayi yang meninggal dibalut dengan kain putih yang pernah dipakai dalam posisi
dalam keadaan dipangku.Kemudian keluarga memberi tanda pada pohon kayu yang
hendak digunakan sebagai kuburan (matanda kayu).Membuat lubang dengan ketentuan
tidak boleh berhadapan dengan rumah kediamannya.Mempersiapkan penutup kubur
dari bahan pelepah enau. Membuat tana (pasak) karurung dari ijuk sesuai
tingkatan strata sosialnya.12 tana karurung bagi tingkatan bangsawan. 8 tana
karurung bagi tingkatan menengah. 6 tana karurung bagi tingkatan bawah.
Makadende yaitu membuat tali ijuk sebelum jenasah dibawa ke kuburan, seekor
babi jantan hitam dipotong atau disembelih di halaman rumah duka, kemudian
dibawa ke kuburan dengan diusung. Setibanya di kuburan babi/daging tersebut
dimasak dalam bambu/dipiong, tanpa diberi garam atau bumbu lainnya setelah
semua itu siap mayat dibawah ke kuburan dengan syarat sebagai berikut: Dibawa
dalam posisi dipangku. Pengantar mayat baik laki-laki maupun perempuan harus
berselubung kain.
Dilarang
berbicara, menoleh ke kiri atau ke kanan maupun ke belakang. Setibanya jenasah
di pekuburan penjemput jenasah turun dari tangga lalu mengambil, mengangkat,
dan memasukkan jenasah ke dalam lubang kayu dalam posisi berlutut menghadap
keluar. Kemudian kubur itu ditutup dengan kulimbang di tanah dipasak sesuai
dengan statusnya dan sesudah ini dilapisi dengan ijuk dan diikat dengan kadende
(tali ijuk).Sepanjang kegiatan tersebut di atas, seluruh orang yang hadir
dilarang berbicara, nanti setelah mataletek pa piong (membelah bambu berisi
daging yang sudah masak) berarti orang sudah boleh berbicara dan orang yang
berada diatas tangga sudah boleh turun.
Makale, Ibu
kota Tana Toraja.
Pada asal
mulanya Makale berasal dari kata Makale menurut kata orang, penduduk yang hidup
di Makale senantiasa bangun pada waktu matahari belum terbit (Makale) oleh
karena leluhur mereka mempercayai bahwa orang yang bangun mendahului matahari
terbit (Makale) selalu mendapat keberuntungan atau rezeki. Tetapi karena
perubahan ucapan kata maka Makale. Makale adalah pusat pemerintahan dan juga
terkenal sebagai kota tenang dan damai. Di tengah-tengah kota Makale terdapat
sebuah kolam yang airnya jernih dan penuh berisi dengan bermacam jenis ikan.
Kolamnya di sebut kolam Makale.
Bukit-bukit
yang terjal dari kota dimahkotai oleh puncak menara gereja, sembari kaki lembah
didominasi oleh bangunan pemerintah yang baru. Banyak di antaranya mengambil
tipe bangunan rumah tradisional Toraja arsitektur yang penuh dengan ukiran dan
atap yang melengkung. Kota merupakan daerah yang tepat menghubungkan dengan
daerah Toraja barat, sekitar Londa, Suaya dan Sangalla. Pada saat pasar kota
ini merupakan pusat aktivitas karena rakyat dari jauh datang dengan hasil
produksinya berupa binatang, kerajinan tangan tikar, keranjang dan kerajinan
buatan lokal.
Kebudayaan Suku
Toraja
Suku Toraja
masih terikat oleh adat istiadat dan kepercayaan nenek moyang. Kepercayaan asli
masyarakat Tana Toraja yang disebut Aluk Todolo, kesadaran bahwa manusia hidup
di Bumi ini hanya untuk sementara, begitu kuat. Prinsipnya, selama tidak ada
orang yang bisa menahan Matahari terbenam di ufuk barat, kematian pun tak mungkin
bisa ditunda.
Sesuai mitos
yang hidup di kalangan pemeluk kepercayaan Aluk Todolo, seseorang yang telah
meninggal dunia pada akhirnya akan menuju ke suatu tempat yang disebut puyo;
dunia arwah, tempat berkumpulnya semua roh. Letaknya di bagian selatan tempat
tinggal manusia. Hanya saja tidak setiap arwah atau roh orang yang meninggal
itu dengan sendirinya bisa langsung masuk ke puyo. Untuk sampai ke sana perlu
didahului upacara penguburan sesuai status sosial semasa ia hidup. Jika tidak
diupacarakan atau upacara yang dilangsungkan tidak sempurna sesuai aluk, yang
bersangkutan tidak dapat mencapai puyo. Jiwanya akan tersesat.
"Agar jiwa
orang yang ’bepergian’ itu tidak tersesat, tetapi sampai ke tujuan, upacara
yang dilakukan harus sesuai aluk dan mengingat pamali. Ini yang disebut sangka’
atau darma, yakni mengikuti aturan yang sebenarnya. Kalau ada yang salah atau
biasa dikatakan salah aluk (tomma’ liong-liong), jiwa orang yang ’bepergian’
itu akan tersendat menuju siruga (surga)," kata Tato’ Denna’, salah satu
tokoh adat setempat, yang dalam stratifikasi penganut kepercayaan Aluk Todolo
mendapat sebutan Ne’ Sando.
Selama orang
yang meninggal dunia itu belum diupacarakan, ia akan menjadi arwah dalam wujud
setengah dewa. Roh yang merupakan penjelmaan dari jiwa manusia yang telah
meninggal dunia ini mereka sebut tomebali puang. Sambil menunggu korban
persembahan untuknya dari keluarga dan kerabatnya lewat upacara pemakaman,
arwah tadi dipercaya tetap akan memperhatikan dari dekat kehidupan keturunannya.
Oleh karena
itu, upacara kematian menjadi penting dan semua aluk yang berkaitan dengan
kematian sedapat mungkin harus dijalankan sesuai ketentuan. Sebelum menetapkan
kapan dan di mana jenazah dimakamkan, pihak keluarga harus berkumpul semua, hewan
korban pun harus disiapkan sesuai ketentuan. Pelaksanaannya pun harus
dilangsungkan sebaik mungkin agar kegiatan tersebut dapat diterima sebagai
upacara persembahan bagi tomebali puang mereka agar bisa mencapai puyo alias
surga
Bisa dimaklumi
bila dalam setiap upacara kematian di Tana Toraja pihak keluarga dan kerabat
almarhum berusaha untuk memberikan yang terbaik. Caranya adalah dengan
membekali jiwa yang akan bepergian itu dengan pemotongan hewan-biasanya berupa
kerbau dan babi sebanyak mungkin. Sesuai status sosial atau kedudukan orang
yang meninggal.Semakin tinggi status social orang tersebut, maka kerbau belang
atau babi yang dipotong semakin banyak. Harga kerbau mulai dari 40 juta rupiah
sampai 100 juta rupiah. Seseorang meninggal akan dibuat upacara adat setelah
menunggu dua sampai tiga tahun sampai terkumpulnya biaya upacara kematian. Para
penganut kepercayaan Aluk Todolo percaya bahwa roh binatang yang ikut
dikorbankan dalam upacara kematian tersebut akan mengikuti arwah orang yang
meninggal dunia tadi menuju ke puyo. Sehingga biaya untuk pemakaman lebih mahal
dari pada biaya pernikahan di Tana Toraja, Sulawesi Selatan.
Kepercayaan
pada Aluk Todolo pada hakikatnya berintikan pada dua hal, yaitu padangan
terhadap kosmos dan kesetiaan pada leluhur nenek moyang. Masing-masing memiliki
fungsi dan pengaturannya dalam kehidupan bermasyarakat. Jika terjadi kesalahan
dalam pelaksanaannya, sebutlah seperti dalam hal "mengurus dan
merawat" arwah para leluhur, bencana pun tak dapat dihindari.
Kebudayaan Suku
Toraja
Berbagai bentuk
tradisi yang dilakukan secara turun-temurun oleh para penganut kepercayaan Aluk
Todolo-termasuk ritus upacara kematian adat Tana Toraja yang sangat dikenal
luas itu-kini pun masih bisa disaksikan. Meski terjadi perubahan di sana-sini,
kebiasaan itu kini tak hanya dijalankan oleh para pemeluk Aluk Todolo,
masyarakat Tana Toraja yang sudah beragama Kristen dan Katolik pun umumnya
masih melaksanakannya. Sehingga menjadi suatu tugas para hamba Tuhan untuk
memberitakan injil yang sesuai dengan budaya setempat yang tidak bertentangan
dengan prinsip Alkitab. Bagi anak Tuhan di Tana Toraja terjadi suatu dilema dalam
memilih nilai tradisi atau prinsip Firman Tuhan. Bila terjadi perbedaan prinsip
budaya lokal dan Firman Tuhan maka Firman Tuhan harus menjadi prioritas diatas
budaya atau adat istiadat. Karena Tuhan adalah diatas semua pencipta kehidupan.
Karena Tuhan Yesus melampaui Hukum Taurat dan Tradisi Yahudi pada jaman
perjanjian baru.
Bagaimana iman
Kristen menyoroti budaya? Bagaimana kita melihat budaya?
Budaya harus
kita tempatkan pada proporsi yang pas, dan ukurannya adalah Alkitab, tidak ada
yang lain. Ketika Tuhan menciptakan manusia untuk beranak-cucu di muka bumi,
Tuhan juga memerintahkan manusia untuk mengasihi sesama seperti dirinya sendiri
(Mat 22: 39). Jadi, budaya adalah konteks di mana manusia berelasi satu dengan
yang lain. Budaya adalah konteks mengatur relasi itu sendiri sehingga manusia
saling menopang, bergotong-royong untuk menciptakan suatu sistem masyarakat
yang penuh dengan cinta kasih. Suatu sistem masyarakat yang saling mendukung.
Salah satu
definisi budaya adalah suatu tatanan nilai/adat istiadat, yang mengatur
kehidupan. Tapi, antara satu kelompok masyarakat dengan kelompok lain,
budayanya bisa berbeda, karena budaya sangat berkaitan dengan pengalaman hidup
suku itu, dan hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan seperti letak geografis,
dan sebagainya. Budaya yang tinggi akan menghasilkan nilai hidup yang tinggi.
Namun, sekalipun seseorang berbudaya tinggi, tidak berarti dia bisa dibenarkan
Alkitab. Atau sebaliknya, orang yang berbudaya luhur, sekalipun bukan Kristen,
bisa lebih baik dibanding orang Kristen yang tak punya budaya.
Tapi di sini
kita tidak membicarakan budaya sebagai satu kaitan dengan keimanan. Kita
berbicara mengenai budaya sebagai refleksi orang beriman. Kalau Anda orang
beriman, harus mampu merefleksikannya. Jadi, budaya itu harus kita junjung
tinggi. Tetapi budaya yang seperti apa? Tentu saja yang sepadan atau sejalan
dengan Alkitab.
Tuhan Yesus
memberi sikap yang tegas terhadap kebudayaan orang-orang Yahudi. Tuhan Yesus
tidak membatalkan tetapi menyempurnakan. Ini berarti bahwa kebudayaan di mata
Tuhan Yesus adalah sarana untuk menyampaikan kehendak-Nya. Bila kebudayaan itu
tidak menghalangi kehendak-Nya maka Tuhan Yesus membiarkan kebudayaan tersebut.
Contoh, Tuhan Yesus datang ke Bait Allah .Jika kebudayaan tersebut menghalangi
kehendak-Nya maka Tuhan Yesus akan menolak kebudayaan tersebut. Contoh. Tuhan
Yesus menyembuhkan orang pada hari Sabat. Ini berarti bahwa Yesus berada di
atas nilai-nilai kebudayaan.
Kebudayaan Suku
Toraja
KEBUDAYAAN TORAJA
Kebudayaan
Suku TORAJA adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara
Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 600.000 jiwa.
Mereka juga menetap di sebagian dataran Luwu dan Sulawesi Barat.
Nama Toraja
mulanya diberikan oleh suku Bugis Sidenreng dan dari Luwu. Orang Sidenreng
menamakan penduduk daerah ini dengan sebutan To Riaja yang mengandung arti
"Orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan", sedang orang
Luwu menyebutnya To Riajang yang artinya adalah "orang yang berdiam di
sebelah barat". Ada juga versi lain bahwa kata Toraya asal To = Tau
(orang), Raya = dari kata Maraya (besar), artinya orang orang besar, bangsawan.
Lama-kelamaan penyebutan tersebut menjadi Toraja, dan kata Tana berarti negeri,
sehingga tempat pemukiman suku Toraja dikenal kemudian dengan Tana Toraja.
Wilayah Tana
Toraja juga digelar Tondok Lilina Lapongan Bulan Tana Matari allo arti
harfiahnya adalah "Negeri yang bulat seperti bulan dan matahari".
Wilayah ini dihuni oleh etnis Toraja.
Kebudayaan Suku
Toraja
Asal masyarakat
Tana Toraja.
Konon, leluhur
orang Toraja adalah manusia yang berasal dari nirwana, mitos yang tetap
melegenda turun temurun hingga kini secara lisan dikalangan masyarakat Toraja
ini menceritakan bahwa nenek moyang masyarakat Toraja yang pertama menggunakan
"tangga dari langit" untuk turun dari nirwana, yang kemudian
berfungsi sebagai media komunikasi dengan Puang Matua (Tuhan Yang Maha Kuasa).
Lain lagi versi
dari DR. C. Cyrut seorang anthtropolog, dalam penelitiannya menuturkan bahwa
masyarakat Tana Toraja merupakan hasil dari proses akulturasi antara penduduk
local atau pribumi yang mendiami daratan Sulawesi Selatan dengan pendatang
imigran dari Teluk Tongkin-Yunnan, daratan China Selatan. Proses pembauran
antara kedua masyarakat tersebut, berawal dari berlabuhnya Imigran Indo China
dengan jumlah yang cukup banyak di sekitar hulu sungai yang diperkirakan
lokasinya di daerah Enrekang, kemudian para imigran ini, membangun pemukimannya
di daerah tersebut.
Kebudayaan Suku
Toraja
Sejarah Aluk
Konon manusia
yang turun ke bumi, telah dibekali dengan aturan keagamaan yang disebut aluk.
Aluk merupakan aturan keagamaan yang menjadi sumber dari budaya dan pandangan
hidup leluhur suku Toraja yang mengandung nilai-nilai religius yang mengarahkan
pola-pola tingkah laku hidup dan ritual suku Toraja untuk mengabdi kepada Puang
Matua.
Cerita tentang
perkembangan dan penyebaran Aluk terjadi dalam lima tahap, yakni:
Tipamulanna
Aluk ditampa dao langi' yakni permulaan penciptaan Aluk diatas langit, Mendemme'
di kapadanganna yakni Aluk diturunkan kebumi oleh Puang Buru Langi' dirura.
Kedua tahapan
ini lebih merupakan mitos. Dalam penelitian pada hakekatnya aluk merupakan
budaya/aturan hidup yang dibawa kaum imigran dari dataran Indo China pada
sekitar 3000 tahun sampai 500 tahun sebelum masehi.
Kebudayaan Suku
Toraja
Kambira –
Kuburan Bayi
Seseorang bayi yang belum tumbuh gigi apabila meninggal dunia akan
dikuburkan ke dalam sebatang pohon kayu yang hidup dari jenis pohon kayu Tarra.
Kayu yang digunakan dilokasi ini telah berumur sekitar ± 300 tahun yang lalu.
Proses pelaksanaan pekuburan sejenis ini mengenal tahap-tahap sebagai berikut:
Bayi yang meninggal dibalut dengan kain putih yang pernah dipakai dalam posisi
dalam keadaan dipangku.Kemudian keluarga memberi tanda pada pohon kayu yang
hendak digunakan sebagai kuburan (matanda kayu).Membuat lubang dengan ketentuan
tidak boleh berhadapan dengan rumah kediamannya.Mempersiapkan penutup kubur
dari bahan pelepah enau. Membuat tana (pasak) karurung dari ijuk sesuai
tingkatan strata sosialnya.12 tana karurung bagi tingkatan bangsawan. 8 tana
karurung bagi tingkatan menengah. 6 tana karurung bagi tingkatan bawah.
Makadende yaitu membuat tali ijuk sebelum jenasah dibawa ke kuburan, seekor
babi jantan hitam dipotong atau disembelih di halaman rumah duka, kemudian
dibawa ke kuburan dengan diusung. Setibanya di kuburan babi/daging tersebut
dimasak dalam bambu/dipiong, tanpa diberi garam atau bumbu lainnya setelah
semua itu siap mayat dibawah ke kuburan dengan syarat sebagai berikut: Dibawa
dalam posisi dipangku. Pengantar mayat baik laki-laki maupun perempuan harus
berselubung kain.
Dilarang
berbicara, menoleh ke kiri atau ke kanan maupun ke belakang. Setibanya jenasah
di pekuburan penjemput jenasah turun dari tangga lalu mengambil, mengangkat,
dan memasukkan jenasah ke dalam lubang kayu dalam posisi berlutut menghadap
keluar. Kemudian kubur itu ditutup dengan kulimbang di tanah dipasak sesuai
dengan statusnya dan sesudah ini dilapisi dengan ijuk dan diikat dengan kadende
(tali ijuk).Sepanjang kegiatan tersebut di atas, seluruh orang yang hadir
dilarang berbicara, nanti setelah mataletek pa piong (membelah bambu berisi
daging yang sudah masak) berarti orang sudah boleh berbicara dan orang yang
berada diatas tangga sudah boleh turun.
Makale, Ibu
kota Tana Toraja.
Pada asal
mulanya Makale berasal dari kata Makale menurut kata orang, penduduk yang hidup
di Makale senantiasa bangun pada waktu matahari belum terbit (Makale) oleh
karena leluhur mereka mempercayai bahwa orang yang bangun mendahului matahari
terbit (Makale) selalu mendapat keberuntungan atau rezeki. Tetapi karena
perubahan ucapan kata maka Makale. Makale adalah pusat pemerintahan dan juga
terkenal sebagai kota tenang dan damai. Di tengah-tengah kota Makale terdapat
sebuah kolam yang airnya jernih dan penuh berisi dengan bermacam jenis ikan.
Kolamnya di sebut kolam Makale.
Bukit-bukit
yang terjal dari kota dimahkotai oleh puncak menara gereja, sembari kaki lembah
didominasi oleh bangunan pemerintah yang baru. Banyak di antaranya mengambil
tipe bangunan rumah tradisional Toraja arsitektur yang penuh dengan ukiran dan
atap yang melengkung. Kota merupakan daerah yang tepat menghubungkan dengan
daerah Toraja barat, sekitar Londa, Suaya dan Sangalla. Pada saat pasar kota
ini merupakan pusat aktivitas karena rakyat dari jauh datang dengan hasil
produksinya berupa binatang, kerajinan tangan tikar, keranjang dan kerajinan
buatan lokal.
Kebudayaan Suku
Toraja
Suku Toraja
masih terikat oleh adat istiadat dan kepercayaan nenek moyang. Kepercayaan asli
masyarakat Tana Toraja yang disebut Aluk Todolo, kesadaran bahwa manusia hidup
di Bumi ini hanya untuk sementara, begitu kuat. Prinsipnya, selama tidak ada
orang yang bisa menahan Matahari terbenam di ufuk barat, kematian pun tak mungkin
bisa ditunda.
Sesuai mitos
yang hidup di kalangan pemeluk kepercayaan Aluk Todolo, seseorang yang telah
meninggal dunia pada akhirnya akan menuju ke suatu tempat yang disebut puyo;
dunia arwah, tempat berkumpulnya semua roh. Letaknya di bagian selatan tempat
tinggal manusia. Hanya saja tidak setiap arwah atau roh orang yang meninggal
itu dengan sendirinya bisa langsung masuk ke puyo. Untuk sampai ke sana perlu
didahului upacara penguburan sesuai status sosial semasa ia hidup. Jika tidak
diupacarakan atau upacara yang dilangsungkan tidak sempurna sesuai aluk, yang
bersangkutan tidak dapat mencapai puyo. Jiwanya akan tersesat.
"Agar jiwa
orang yang ’bepergian’ itu tidak tersesat, tetapi sampai ke tujuan, upacara
yang dilakukan harus sesuai aluk dan mengingat pamali. Ini yang disebut sangka’
atau darma, yakni mengikuti aturan yang sebenarnya. Kalau ada yang salah atau
biasa dikatakan salah aluk (tomma’ liong-liong), jiwa orang yang ’bepergian’
itu akan tersendat menuju siruga (surga)," kata Tato’ Denna’, salah satu
tokoh adat setempat, yang dalam stratifikasi penganut kepercayaan Aluk Todolo
mendapat sebutan Ne’ Sando.
Selama orang
yang meninggal dunia itu belum diupacarakan, ia akan menjadi arwah dalam wujud
setengah dewa. Roh yang merupakan penjelmaan dari jiwa manusia yang telah
meninggal dunia ini mereka sebut tomebali puang. Sambil menunggu korban
persembahan untuknya dari keluarga dan kerabatnya lewat upacara pemakaman,
arwah tadi dipercaya tetap akan memperhatikan dari dekat kehidupan keturunannya.
Oleh karena
itu, upacara kematian menjadi penting dan semua aluk yang berkaitan dengan
kematian sedapat mungkin harus dijalankan sesuai ketentuan. Sebelum menetapkan
kapan dan di mana jenazah dimakamkan, pihak keluarga harus berkumpul semua, hewan
korban pun harus disiapkan sesuai ketentuan. Pelaksanaannya pun harus
dilangsungkan sebaik mungkin agar kegiatan tersebut dapat diterima sebagai
upacara persembahan bagi tomebali puang mereka agar bisa mencapai puyo alias
surga
Bisa dimaklumi
bila dalam setiap upacara kematian di Tana Toraja pihak keluarga dan kerabat
almarhum berusaha untuk memberikan yang terbaik. Caranya adalah dengan
membekali jiwa yang akan bepergian itu dengan pemotongan hewan-biasanya berupa
kerbau dan babi sebanyak mungkin. Sesuai status sosial atau kedudukan orang
yang meninggal.Semakin tinggi status social orang tersebut, maka kerbau belang
atau babi yang dipotong semakin banyak. Harga kerbau mulai dari 40 juta rupiah
sampai 100 juta rupiah. Seseorang meninggal akan dibuat upacara adat setelah
menunggu dua sampai tiga tahun sampai terkumpulnya biaya upacara kematian. Para
penganut kepercayaan Aluk Todolo percaya bahwa roh binatang yang ikut
dikorbankan dalam upacara kematian tersebut akan mengikuti arwah orang yang
meninggal dunia tadi menuju ke puyo. Sehingga biaya untuk pemakaman lebih mahal
dari pada biaya pernikahan di Tana Toraja, Sulawesi Selatan.
Kepercayaan
pada Aluk Todolo pada hakikatnya berintikan pada dua hal, yaitu padangan
terhadap kosmos dan kesetiaan pada leluhur nenek moyang. Masing-masing memiliki
fungsi dan pengaturannya dalam kehidupan bermasyarakat. Jika terjadi kesalahan
dalam pelaksanaannya, sebutlah seperti dalam hal "mengurus dan
merawat" arwah para leluhur, bencana pun tak dapat dihindari.
Kebudayaan Suku
Toraja
Berbagai bentuk
tradisi yang dilakukan secara turun-temurun oleh para penganut kepercayaan Aluk
Todolo-termasuk ritus upacara kematian adat Tana Toraja yang sangat dikenal
luas itu-kini pun masih bisa disaksikan. Meski terjadi perubahan di sana-sini,
kebiasaan itu kini tak hanya dijalankan oleh para pemeluk Aluk Todolo,
masyarakat Tana Toraja yang sudah beragama Kristen dan Katolik pun umumnya
masih melaksanakannya. Sehingga menjadi suatu tugas para hamba Tuhan untuk
memberitakan injil yang sesuai dengan budaya setempat yang tidak bertentangan
dengan prinsip Alkitab. Bagi anak Tuhan di Tana Toraja terjadi suatu dilema dalam
memilih nilai tradisi atau prinsip Firman Tuhan. Bila terjadi perbedaan prinsip
budaya lokal dan Firman Tuhan maka Firman Tuhan harus menjadi prioritas diatas
budaya atau adat istiadat. Karena Tuhan adalah diatas semua pencipta kehidupan.
Karena Tuhan Yesus melampaui Hukum Taurat dan Tradisi Yahudi pada jaman
perjanjian baru.
Bagaimana iman
Kristen menyoroti budaya? Bagaimana kita melihat budaya?
Budaya harus
kita tempatkan pada proporsi yang pas, dan ukurannya adalah Alkitab, tidak ada
yang lain. Ketika Tuhan menciptakan manusia untuk beranak-cucu di muka bumi,
Tuhan juga memerintahkan manusia untuk mengasihi sesama seperti dirinya sendiri
(Mat 22: 39). Jadi, budaya adalah konteks di mana manusia berelasi satu dengan
yang lain. Budaya adalah konteks mengatur relasi itu sendiri sehingga manusia
saling menopang, bergotong-royong untuk menciptakan suatu sistem masyarakat
yang penuh dengan cinta kasih. Suatu sistem masyarakat yang saling mendukung.
Salah satu
definisi budaya adalah suatu tatanan nilai/adat istiadat, yang mengatur
kehidupan. Tapi, antara satu kelompok masyarakat dengan kelompok lain,
budayanya bisa berbeda, karena budaya sangat berkaitan dengan pengalaman hidup
suku itu, dan hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan seperti letak geografis,
dan sebagainya. Budaya yang tinggi akan menghasilkan nilai hidup yang tinggi.
Namun, sekalipun seseorang berbudaya tinggi, tidak berarti dia bisa dibenarkan
Alkitab. Atau sebaliknya, orang yang berbudaya luhur, sekalipun bukan Kristen,
bisa lebih baik dibanding orang Kristen yang tak punya budaya.
Tapi di sini
kita tidak membicarakan budaya sebagai satu kaitan dengan keimanan. Kita
berbicara mengenai budaya sebagai refleksi orang beriman. Kalau Anda orang
beriman, harus mampu merefleksikannya. Jadi, budaya itu harus kita junjung
tinggi. Tetapi budaya yang seperti apa? Tentu saja yang sepadan atau sejalan
dengan Alkitab.
Tuhan Yesus
memberi sikap yang tegas terhadap kebudayaan orang-orang Yahudi. Tuhan Yesus
tidak membatalkan tetapi menyempurnakan. Ini berarti bahwa kebudayaan di mata
Tuhan Yesus adalah sarana untuk menyampaikan kehendak-Nya. Bila kebudayaan itu
tidak menghalangi kehendak-Nya maka Tuhan Yesus membiarkan kebudayaan tersebut.
Contoh, Tuhan Yesus datang ke Bait Allah .Jika kebudayaan tersebut menghalangi
kehendak-Nya maka Tuhan Yesus akan menolak kebudayaan tersebut. Contoh. Tuhan
Yesus menyembuhkan orang pada hari Sabat. Ini berarti bahwa Yesus berada di
atas nilai-nilai kebudayaan.
Kebudayaan Suku
Toraja
KEBUDAYAAN TORAJA
Kebudayaan
Suku TORAJA adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara
Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 600.000 jiwa.
Mereka juga menetap di sebagian dataran Luwu dan Sulawesi Barat.
Nama Toraja
mulanya diberikan oleh suku Bugis Sidenreng dan dari Luwu. Orang Sidenreng
menamakan penduduk daerah ini dengan sebutan To Riaja yang mengandung arti
"Orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan", sedang orang
Luwu menyebutnya To Riajang yang artinya adalah "orang yang berdiam di
sebelah barat". Ada juga versi lain bahwa kata Toraya asal To = Tau
(orang), Raya = dari kata Maraya (besar), artinya orang orang besar, bangsawan.
Lama-kelamaan penyebutan tersebut menjadi Toraja, dan kata Tana berarti negeri,
sehingga tempat pemukiman suku Toraja dikenal kemudian dengan Tana Toraja.
Wilayah Tana
Toraja juga digelar Tondok Lilina Lapongan Bulan Tana Matari allo arti
harfiahnya adalah "Negeri yang bulat seperti bulan dan matahari".
Wilayah ini dihuni oleh etnis Toraja.
Kebudayaan Suku
Toraja
Asal masyarakat
Tana Toraja.
Konon, leluhur
orang Toraja adalah manusia yang berasal dari nirwana, mitos yang tetap
melegenda turun temurun hingga kini secara lisan dikalangan masyarakat Toraja
ini menceritakan bahwa nenek moyang masyarakat Toraja yang pertama menggunakan
"tangga dari langit" untuk turun dari nirwana, yang kemudian
berfungsi sebagai media komunikasi dengan Puang Matua (Tuhan Yang Maha Kuasa).
Lain lagi versi
dari DR. C. Cyrut seorang anthtropolog, dalam penelitiannya menuturkan bahwa
masyarakat Tana Toraja merupakan hasil dari proses akulturasi antara penduduk
local atau pribumi yang mendiami daratan Sulawesi Selatan dengan pendatang
imigran dari Teluk Tongkin-Yunnan, daratan China Selatan. Proses pembauran
antara kedua masyarakat tersebut, berawal dari berlabuhnya Imigran Indo China
dengan jumlah yang cukup banyak di sekitar hulu sungai yang diperkirakan
lokasinya di daerah Enrekang, kemudian para imigran ini, membangun pemukimannya
di daerah tersebut.
Kebudayaan Suku
Toraja
Sejarah Aluk
Konon manusia
yang turun ke bumi, telah dibekali dengan aturan keagamaan yang disebut aluk.
Aluk merupakan aturan keagamaan yang menjadi sumber dari budaya dan pandangan
hidup leluhur suku Toraja yang mengandung nilai-nilai religius yang mengarahkan
pola-pola tingkah laku hidup dan ritual suku Toraja untuk mengabdi kepada Puang
Matua.
Cerita tentang
perkembangan dan penyebaran Aluk terjadi dalam lima tahap, yakni:
Tipamulanna
Aluk ditampa dao langi' yakni permulaan penciptaan Aluk diatas langit, Mendemme'
di kapadanganna yakni Aluk diturunkan kebumi oleh Puang Buru Langi' dirura.
Kedua tahapan
ini lebih merupakan mitos. Dalam penelitian pada hakekatnya aluk merupakan
budaya/aturan hidup yang dibawa kaum imigran dari dataran Indo China pada
sekitar 3000 tahun sampai 500 tahun sebelum masehi.
Kebudayaan Suku
Toraja
Kambira –
Kuburan Bayi
Seseorang bayi yang belum tumbuh gigi apabila meninggal dunia akan
dikuburkan ke dalam sebatang pohon kayu yang hidup dari jenis pohon kayu Tarra.
Kayu yang digunakan dilokasi ini telah berumur sekitar ± 300 tahun yang lalu.
Proses pelaksanaan pekuburan sejenis ini mengenal tahap-tahap sebagai berikut:
Bayi yang meninggal dibalut dengan kain putih yang pernah dipakai dalam posisi
dalam keadaan dipangku.Kemudian keluarga memberi tanda pada pohon kayu yang
hendak digunakan sebagai kuburan (matanda kayu).Membuat lubang dengan ketentuan
tidak boleh berhadapan dengan rumah kediamannya.Mempersiapkan penutup kubur
dari bahan pelepah enau. Membuat tana (pasak) karurung dari ijuk sesuai
tingkatan strata sosialnya.12 tana karurung bagi tingkatan bangsawan. 8 tana
karurung bagi tingkatan menengah. 6 tana karurung bagi tingkatan bawah.
Makadende yaitu membuat tali ijuk sebelum jenasah dibawa ke kuburan, seekor
babi jantan hitam dipotong atau disembelih di halaman rumah duka, kemudian
dibawa ke kuburan dengan diusung. Setibanya di kuburan babi/daging tersebut
dimasak dalam bambu/dipiong, tanpa diberi garam atau bumbu lainnya setelah
semua itu siap mayat dibawah ke kuburan dengan syarat sebagai berikut: Dibawa
dalam posisi dipangku. Pengantar mayat baik laki-laki maupun perempuan harus
berselubung kain.
Dilarang
berbicara, menoleh ke kiri atau ke kanan maupun ke belakang. Setibanya jenasah
di pekuburan penjemput jenasah turun dari tangga lalu mengambil, mengangkat,
dan memasukkan jenasah ke dalam lubang kayu dalam posisi berlutut menghadap
keluar. Kemudian kubur itu ditutup dengan kulimbang di tanah dipasak sesuai
dengan statusnya dan sesudah ini dilapisi dengan ijuk dan diikat dengan kadende
(tali ijuk).Sepanjang kegiatan tersebut di atas, seluruh orang yang hadir
dilarang berbicara, nanti setelah mataletek pa piong (membelah bambu berisi
daging yang sudah masak) berarti orang sudah boleh berbicara dan orang yang
berada diatas tangga sudah boleh turun.
Makale, Ibu
kota Tana Toraja.
Pada asal
mulanya Makale berasal dari kata Makale menurut kata orang, penduduk yang hidup
di Makale senantiasa bangun pada waktu matahari belum terbit (Makale) oleh
karena leluhur mereka mempercayai bahwa orang yang bangun mendahului matahari
terbit (Makale) selalu mendapat keberuntungan atau rezeki. Tetapi karena
perubahan ucapan kata maka Makale. Makale adalah pusat pemerintahan dan juga
terkenal sebagai kota tenang dan damai. Di tengah-tengah kota Makale terdapat
sebuah kolam yang airnya jernih dan penuh berisi dengan bermacam jenis ikan.
Kolamnya di sebut kolam Makale.
Bukit-bukit
yang terjal dari kota dimahkotai oleh puncak menara gereja, sembari kaki lembah
didominasi oleh bangunan pemerintah yang baru. Banyak di antaranya mengambil
tipe bangunan rumah tradisional Toraja arsitektur yang penuh dengan ukiran dan
atap yang melengkung. Kota merupakan daerah yang tepat menghubungkan dengan
daerah Toraja barat, sekitar Londa, Suaya dan Sangalla. Pada saat pasar kota
ini merupakan pusat aktivitas karena rakyat dari jauh datang dengan hasil
produksinya berupa binatang, kerajinan tangan tikar, keranjang dan kerajinan
buatan lokal.
Kebudayaan Suku
Toraja
Suku Toraja
masih terikat oleh adat istiadat dan kepercayaan nenek moyang. Kepercayaan asli
masyarakat Tana Toraja yang disebut Aluk Todolo, kesadaran bahwa manusia hidup
di Bumi ini hanya untuk sementara, begitu kuat. Prinsipnya, selama tidak ada
orang yang bisa menahan Matahari terbenam di ufuk barat, kematian pun tak mungkin
bisa ditunda.
Sesuai mitos
yang hidup di kalangan pemeluk kepercayaan Aluk Todolo, seseorang yang telah
meninggal dunia pada akhirnya akan menuju ke suatu tempat yang disebut puyo;
dunia arwah, tempat berkumpulnya semua roh. Letaknya di bagian selatan tempat
tinggal manusia. Hanya saja tidak setiap arwah atau roh orang yang meninggal
itu dengan sendirinya bisa langsung masuk ke puyo. Untuk sampai ke sana perlu
didahului upacara penguburan sesuai status sosial semasa ia hidup. Jika tidak
diupacarakan atau upacara yang dilangsungkan tidak sempurna sesuai aluk, yang
bersangkutan tidak dapat mencapai puyo. Jiwanya akan tersesat.
"Agar jiwa
orang yang ’bepergian’ itu tidak tersesat, tetapi sampai ke tujuan, upacara
yang dilakukan harus sesuai aluk dan mengingat pamali. Ini yang disebut sangka’
atau darma, yakni mengikuti aturan yang sebenarnya. Kalau ada yang salah atau
biasa dikatakan salah aluk (tomma’ liong-liong), jiwa orang yang ’bepergian’
itu akan tersendat menuju siruga (surga)," kata Tato’ Denna’, salah satu
tokoh adat setempat, yang dalam stratifikasi penganut kepercayaan Aluk Todolo
mendapat sebutan Ne’ Sando.
Selama orang
yang meninggal dunia itu belum diupacarakan, ia akan menjadi arwah dalam wujud
setengah dewa. Roh yang merupakan penjelmaan dari jiwa manusia yang telah
meninggal dunia ini mereka sebut tomebali puang. Sambil menunggu korban
persembahan untuknya dari keluarga dan kerabatnya lewat upacara pemakaman,
arwah tadi dipercaya tetap akan memperhatikan dari dekat kehidupan keturunannya.
Oleh karena
itu, upacara kematian menjadi penting dan semua aluk yang berkaitan dengan
kematian sedapat mungkin harus dijalankan sesuai ketentuan. Sebelum menetapkan
kapan dan di mana jenazah dimakamkan, pihak keluarga harus berkumpul semua, hewan
korban pun harus disiapkan sesuai ketentuan. Pelaksanaannya pun harus
dilangsungkan sebaik mungkin agar kegiatan tersebut dapat diterima sebagai
upacara persembahan bagi tomebali puang mereka agar bisa mencapai puyo alias
surga
Bisa dimaklumi
bila dalam setiap upacara kematian di Tana Toraja pihak keluarga dan kerabat
almarhum berusaha untuk memberikan yang terbaik. Caranya adalah dengan
membekali jiwa yang akan bepergian itu dengan pemotongan hewan-biasanya berupa
kerbau dan babi sebanyak mungkin. Sesuai status sosial atau kedudukan orang
yang meninggal.Semakin tinggi status social orang tersebut, maka kerbau belang
atau babi yang dipotong semakin banyak. Harga kerbau mulai dari 40 juta rupiah
sampai 100 juta rupiah. Seseorang meninggal akan dibuat upacara adat setelah
menunggu dua sampai tiga tahun sampai terkumpulnya biaya upacara kematian. Para
penganut kepercayaan Aluk Todolo percaya bahwa roh binatang yang ikut
dikorbankan dalam upacara kematian tersebut akan mengikuti arwah orang yang
meninggal dunia tadi menuju ke puyo. Sehingga biaya untuk pemakaman lebih mahal
dari pada biaya pernikahan di Tana Toraja, Sulawesi Selatan.
Kepercayaan
pada Aluk Todolo pada hakikatnya berintikan pada dua hal, yaitu padangan
terhadap kosmos dan kesetiaan pada leluhur nenek moyang. Masing-masing memiliki
fungsi dan pengaturannya dalam kehidupan bermasyarakat. Jika terjadi kesalahan
dalam pelaksanaannya, sebutlah seperti dalam hal "mengurus dan
merawat" arwah para leluhur, bencana pun tak dapat dihindari.
Kebudayaan Suku
Toraja
Berbagai bentuk
tradisi yang dilakukan secara turun-temurun oleh para penganut kepercayaan Aluk
Todolo-termasuk ritus upacara kematian adat Tana Toraja yang sangat dikenal
luas itu-kini pun masih bisa disaksikan. Meski terjadi perubahan di sana-sini,
kebiasaan itu kini tak hanya dijalankan oleh para pemeluk Aluk Todolo,
masyarakat Tana Toraja yang sudah beragama Kristen dan Katolik pun umumnya
masih melaksanakannya. Sehingga menjadi suatu tugas para hamba Tuhan untuk
memberitakan injil yang sesuai dengan budaya setempat yang tidak bertentangan
dengan prinsip Alkitab. Bagi anak Tuhan di Tana Toraja terjadi suatu dilema dalam
memilih nilai tradisi atau prinsip Firman Tuhan. Bila terjadi perbedaan prinsip
budaya lokal dan Firman Tuhan maka Firman Tuhan harus menjadi prioritas diatas
budaya atau adat istiadat. Karena Tuhan adalah diatas semua pencipta kehidupan.
Karena Tuhan Yesus melampaui Hukum Taurat dan Tradisi Yahudi pada jaman
perjanjian baru.
Bagaimana iman
Kristen menyoroti budaya? Bagaimana kita melihat budaya?
Budaya harus
kita tempatkan pada proporsi yang pas, dan ukurannya adalah Alkitab, tidak ada
yang lain. Ketika Tuhan menciptakan manusia untuk beranak-cucu di muka bumi,
Tuhan juga memerintahkan manusia untuk mengasihi sesama seperti dirinya sendiri
(Mat 22: 39). Jadi, budaya adalah konteks di mana manusia berelasi satu dengan
yang lain. Budaya adalah konteks mengatur relasi itu sendiri sehingga manusia
saling menopang, bergotong-royong untuk menciptakan suatu sistem masyarakat
yang penuh dengan cinta kasih. Suatu sistem masyarakat yang saling mendukung.
Salah satu
definisi budaya adalah suatu tatanan nilai/adat istiadat, yang mengatur
kehidupan. Tapi, antara satu kelompok masyarakat dengan kelompok lain,
budayanya bisa berbeda, karena budaya sangat berkaitan dengan pengalaman hidup
suku itu, dan hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan seperti letak geografis,
dan sebagainya. Budaya yang tinggi akan menghasilkan nilai hidup yang tinggi.
Namun, sekalipun seseorang berbudaya tinggi, tidak berarti dia bisa dibenarkan
Alkitab. Atau sebaliknya, orang yang berbudaya luhur, sekalipun bukan Kristen,
bisa lebih baik dibanding orang Kristen yang tak punya budaya.
Tapi di sini
kita tidak membicarakan budaya sebagai satu kaitan dengan keimanan. Kita
berbicara mengenai budaya sebagai refleksi orang beriman. Kalau Anda orang
beriman, harus mampu merefleksikannya. Jadi, budaya itu harus kita junjung
tinggi. Tetapi budaya yang seperti apa? Tentu saja yang sepadan atau sejalan
dengan Alkitab.
Tuhan Yesus
memberi sikap yang tegas terhadap kebudayaan orang-orang Yahudi. Tuhan Yesus
tidak membatalkan tetapi menyempurnakan. Ini berarti bahwa kebudayaan di mata
Tuhan Yesus adalah sarana untuk menyampaikan kehendak-Nya. Bila kebudayaan itu
tidak menghalangi kehendak-Nya maka Tuhan Yesus membiarkan kebudayaan tersebut.
Contoh, Tuhan Yesus datang ke Bait Allah .Jika kebudayaan tersebut menghalangi
kehendak-Nya maka Tuhan Yesus akan menolak kebudayaan tersebut. Contoh. Tuhan
Yesus menyembuhkan orang pada hari Sabat. Ini berarti bahwa Yesus berada di
atas nilai-nilai kebudayaan.
Kebudayaan Suku
Toraja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar