Selasa, 31 Januari 2012
Minggu, 10 April 2011
KEBUDAYAAN
KEBUDAYAAN TORAJA
Kebudayaan
Suku TORAJA adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara
Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 600.000 jiwa.
Mereka juga menetap di sebagian dataran Luwu dan Sulawesi Barat.
Nama Toraja
mulanya diberikan oleh suku Bugis Sidenreng dan dari Luwu. Orang Sidenreng
menamakan penduduk daerah ini dengan sebutan To Riaja yang mengandung arti
"Orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan", sedang orang
Luwu menyebutnya To Riajang yang artinya adalah "orang yang berdiam di
sebelah barat". Ada juga versi lain bahwa kata Toraya asal To = Tau
(orang), Raya = dari kata Maraya (besar), artinya orang orang besar, bangsawan.
Lama-kelamaan penyebutan tersebut menjadi Toraja, dan kata Tana berarti negeri,
sehingga tempat pemukiman suku Toraja dikenal kemudian dengan Tana Toraja.
Wilayah Tana
Toraja juga digelar Tondok Lilina Lapongan Bulan Tana Matari allo arti
harfiahnya adalah "Negeri yang bulat seperti bulan dan matahari".
Wilayah ini dihuni oleh etnis Toraja.
Kebudayaan Suku
Toraja
Asal masyarakat
Tana Toraja.
Konon, leluhur
orang Toraja adalah manusia yang berasal dari nirwana, mitos yang tetap
melegenda turun temurun hingga kini secara lisan dikalangan masyarakat Toraja
ini menceritakan bahwa nenek moyang masyarakat Toraja yang pertama menggunakan
"tangga dari langit" untuk turun dari nirwana, yang kemudian
berfungsi sebagai media komunikasi dengan Puang Matua (Tuhan Yang Maha Kuasa).
Lain lagi versi
dari DR. C. Cyrut seorang anthtropolog, dalam penelitiannya menuturkan bahwa
masyarakat Tana Toraja merupakan hasil dari proses akulturasi antara penduduk
local atau pribumi yang mendiami daratan Sulawesi Selatan dengan pendatang
imigran dari Teluk Tongkin-Yunnan, daratan China Selatan. Proses pembauran
antara kedua masyarakat tersebut, berawal dari berlabuhnya Imigran Indo China
dengan jumlah yang cukup banyak di sekitar hulu sungai yang diperkirakan
lokasinya di daerah Enrekang, kemudian para imigran ini, membangun pemukimannya
di daerah tersebut.
Kebudayaan Suku
Toraja
Sejarah Aluk
Konon manusia
yang turun ke bumi, telah dibekali dengan aturan keagamaan yang disebut aluk.
Aluk merupakan aturan keagamaan yang menjadi sumber dari budaya dan pandangan
hidup leluhur suku Toraja yang mengandung nilai-nilai religius yang mengarahkan
pola-pola tingkah laku hidup dan ritual suku Toraja untuk mengabdi kepada Puang
Matua.
Cerita tentang
perkembangan dan penyebaran Aluk terjadi dalam lima tahap, yakni:
Tipamulanna
Aluk ditampa dao langi' yakni permulaan penciptaan Aluk diatas langit, Mendemme'
di kapadanganna yakni Aluk diturunkan kebumi oleh Puang Buru Langi' dirura.
Kedua tahapan
ini lebih merupakan mitos. Dalam penelitian pada hakekatnya aluk merupakan
budaya/aturan hidup yang dibawa kaum imigran dari dataran Indo China pada
sekitar 3000 tahun sampai 500 tahun sebelum masehi.
Kebudayaan Suku
Toraja
Kambira –
Kuburan Bayi
Seseorang bayi yang belum tumbuh gigi apabila meninggal dunia akan
dikuburkan ke dalam sebatang pohon kayu yang hidup dari jenis pohon kayu Tarra.
Kayu yang digunakan dilokasi ini telah berumur sekitar ± 300 tahun yang lalu.
Proses pelaksanaan pekuburan sejenis ini mengenal tahap-tahap sebagai berikut:
Bayi yang meninggal dibalut dengan kain putih yang pernah dipakai dalam posisi
dalam keadaan dipangku.Kemudian keluarga memberi tanda pada pohon kayu yang
hendak digunakan sebagai kuburan (matanda kayu).Membuat lubang dengan ketentuan
tidak boleh berhadapan dengan rumah kediamannya.Mempersiapkan penutup kubur
dari bahan pelepah enau. Membuat tana (pasak) karurung dari ijuk sesuai
tingkatan strata sosialnya.12 tana karurung bagi tingkatan bangsawan. 8 tana
karurung bagi tingkatan menengah. 6 tana karurung bagi tingkatan bawah.
Makadende yaitu membuat tali ijuk sebelum jenasah dibawa ke kuburan, seekor
babi jantan hitam dipotong atau disembelih di halaman rumah duka, kemudian
dibawa ke kuburan dengan diusung. Setibanya di kuburan babi/daging tersebut
dimasak dalam bambu/dipiong, tanpa diberi garam atau bumbu lainnya setelah
semua itu siap mayat dibawah ke kuburan dengan syarat sebagai berikut: Dibawa
dalam posisi dipangku. Pengantar mayat baik laki-laki maupun perempuan harus
berselubung kain.
Dilarang
berbicara, menoleh ke kiri atau ke kanan maupun ke belakang. Setibanya jenasah
di pekuburan penjemput jenasah turun dari tangga lalu mengambil, mengangkat,
dan memasukkan jenasah ke dalam lubang kayu dalam posisi berlutut menghadap
keluar. Kemudian kubur itu ditutup dengan kulimbang di tanah dipasak sesuai
dengan statusnya dan sesudah ini dilapisi dengan ijuk dan diikat dengan kadende
(tali ijuk).Sepanjang kegiatan tersebut di atas, seluruh orang yang hadir
dilarang berbicara, nanti setelah mataletek pa piong (membelah bambu berisi
daging yang sudah masak) berarti orang sudah boleh berbicara dan orang yang
berada diatas tangga sudah boleh turun.
Makale, Ibu
kota Tana Toraja.
Pada asal
mulanya Makale berasal dari kata Makale menurut kata orang, penduduk yang hidup
di Makale senantiasa bangun pada waktu matahari belum terbit (Makale) oleh
karena leluhur mereka mempercayai bahwa orang yang bangun mendahului matahari
terbit (Makale) selalu mendapat keberuntungan atau rezeki. Tetapi karena
perubahan ucapan kata maka Makale. Makale adalah pusat pemerintahan dan juga
terkenal sebagai kota tenang dan damai. Di tengah-tengah kota Makale terdapat
sebuah kolam yang airnya jernih dan penuh berisi dengan bermacam jenis ikan.
Kolamnya di sebut kolam Makale.
Bukit-bukit
yang terjal dari kota dimahkotai oleh puncak menara gereja, sembari kaki lembah
didominasi oleh bangunan pemerintah yang baru. Banyak di antaranya mengambil
tipe bangunan rumah tradisional Toraja arsitektur yang penuh dengan ukiran dan
atap yang melengkung. Kota merupakan daerah yang tepat menghubungkan dengan
daerah Toraja barat, sekitar Londa, Suaya dan Sangalla. Pada saat pasar kota
ini merupakan pusat aktivitas karena rakyat dari jauh datang dengan hasil
produksinya berupa binatang, kerajinan tangan tikar, keranjang dan kerajinan
buatan lokal.
Kebudayaan Suku
Toraja
Suku Toraja
masih terikat oleh adat istiadat dan kepercayaan nenek moyang. Kepercayaan asli
masyarakat Tana Toraja yang disebut Aluk Todolo, kesadaran bahwa manusia hidup
di Bumi ini hanya untuk sementara, begitu kuat. Prinsipnya, selama tidak ada
orang yang bisa menahan Matahari terbenam di ufuk barat, kematian pun tak mungkin
bisa ditunda.
Sesuai mitos
yang hidup di kalangan pemeluk kepercayaan Aluk Todolo, seseorang yang telah
meninggal dunia pada akhirnya akan menuju ke suatu tempat yang disebut puyo;
dunia arwah, tempat berkumpulnya semua roh. Letaknya di bagian selatan tempat
tinggal manusia. Hanya saja tidak setiap arwah atau roh orang yang meninggal
itu dengan sendirinya bisa langsung masuk ke puyo. Untuk sampai ke sana perlu
didahului upacara penguburan sesuai status sosial semasa ia hidup. Jika tidak
diupacarakan atau upacara yang dilangsungkan tidak sempurna sesuai aluk, yang
bersangkutan tidak dapat mencapai puyo. Jiwanya akan tersesat.
"Agar jiwa
orang yang ’bepergian’ itu tidak tersesat, tetapi sampai ke tujuan, upacara
yang dilakukan harus sesuai aluk dan mengingat pamali. Ini yang disebut sangka’
atau darma, yakni mengikuti aturan yang sebenarnya. Kalau ada yang salah atau
biasa dikatakan salah aluk (tomma’ liong-liong), jiwa orang yang ’bepergian’
itu akan tersendat menuju siruga (surga)," kata Tato’ Denna’, salah satu
tokoh adat setempat, yang dalam stratifikasi penganut kepercayaan Aluk Todolo
mendapat sebutan Ne’ Sando.
Selama orang
yang meninggal dunia itu belum diupacarakan, ia akan menjadi arwah dalam wujud
setengah dewa. Roh yang merupakan penjelmaan dari jiwa manusia yang telah
meninggal dunia ini mereka sebut tomebali puang. Sambil menunggu korban
persembahan untuknya dari keluarga dan kerabatnya lewat upacara pemakaman,
arwah tadi dipercaya tetap akan memperhatikan dari dekat kehidupan keturunannya.
Oleh karena
itu, upacara kematian menjadi penting dan semua aluk yang berkaitan dengan
kematian sedapat mungkin harus dijalankan sesuai ketentuan. Sebelum menetapkan
kapan dan di mana jenazah dimakamkan, pihak keluarga harus berkumpul semua, hewan
korban pun harus disiapkan sesuai ketentuan. Pelaksanaannya pun harus
dilangsungkan sebaik mungkin agar kegiatan tersebut dapat diterima sebagai
upacara persembahan bagi tomebali puang mereka agar bisa mencapai puyo alias
surga
Bisa dimaklumi
bila dalam setiap upacara kematian di Tana Toraja pihak keluarga dan kerabat
almarhum berusaha untuk memberikan yang terbaik. Caranya adalah dengan
membekali jiwa yang akan bepergian itu dengan pemotongan hewan-biasanya berupa
kerbau dan babi sebanyak mungkin. Sesuai status sosial atau kedudukan orang
yang meninggal.Semakin tinggi status social orang tersebut, maka kerbau belang
atau babi yang dipotong semakin banyak. Harga kerbau mulai dari 40 juta rupiah
sampai 100 juta rupiah. Seseorang meninggal akan dibuat upacara adat setelah
menunggu dua sampai tiga tahun sampai terkumpulnya biaya upacara kematian. Para
penganut kepercayaan Aluk Todolo percaya bahwa roh binatang yang ikut
dikorbankan dalam upacara kematian tersebut akan mengikuti arwah orang yang
meninggal dunia tadi menuju ke puyo. Sehingga biaya untuk pemakaman lebih mahal
dari pada biaya pernikahan di Tana Toraja, Sulawesi Selatan.
Kepercayaan
pada Aluk Todolo pada hakikatnya berintikan pada dua hal, yaitu padangan
terhadap kosmos dan kesetiaan pada leluhur nenek moyang. Masing-masing memiliki
fungsi dan pengaturannya dalam kehidupan bermasyarakat. Jika terjadi kesalahan
dalam pelaksanaannya, sebutlah seperti dalam hal "mengurus dan
merawat" arwah para leluhur, bencana pun tak dapat dihindari.
Kebudayaan Suku
Toraja
Berbagai bentuk
tradisi yang dilakukan secara turun-temurun oleh para penganut kepercayaan Aluk
Todolo-termasuk ritus upacara kematian adat Tana Toraja yang sangat dikenal
luas itu-kini pun masih bisa disaksikan. Meski terjadi perubahan di sana-sini,
kebiasaan itu kini tak hanya dijalankan oleh para pemeluk Aluk Todolo,
masyarakat Tana Toraja yang sudah beragama Kristen dan Katolik pun umumnya
masih melaksanakannya. Sehingga menjadi suatu tugas para hamba Tuhan untuk
memberitakan injil yang sesuai dengan budaya setempat yang tidak bertentangan
dengan prinsip Alkitab. Bagi anak Tuhan di Tana Toraja terjadi suatu dilema dalam
memilih nilai tradisi atau prinsip Firman Tuhan. Bila terjadi perbedaan prinsip
budaya lokal dan Firman Tuhan maka Firman Tuhan harus menjadi prioritas diatas
budaya atau adat istiadat. Karena Tuhan adalah diatas semua pencipta kehidupan.
Karena Tuhan Yesus melampaui Hukum Taurat dan Tradisi Yahudi pada jaman
perjanjian baru.
Bagaimana iman
Kristen menyoroti budaya? Bagaimana kita melihat budaya?
Budaya harus
kita tempatkan pada proporsi yang pas, dan ukurannya adalah Alkitab, tidak ada
yang lain. Ketika Tuhan menciptakan manusia untuk beranak-cucu di muka bumi,
Tuhan juga memerintahkan manusia untuk mengasihi sesama seperti dirinya sendiri
(Mat 22: 39). Jadi, budaya adalah konteks di mana manusia berelasi satu dengan
yang lain. Budaya adalah konteks mengatur relasi itu sendiri sehingga manusia
saling menopang, bergotong-royong untuk menciptakan suatu sistem masyarakat
yang penuh dengan cinta kasih. Suatu sistem masyarakat yang saling mendukung.
Salah satu
definisi budaya adalah suatu tatanan nilai/adat istiadat, yang mengatur
kehidupan. Tapi, antara satu kelompok masyarakat dengan kelompok lain,
budayanya bisa berbeda, karena budaya sangat berkaitan dengan pengalaman hidup
suku itu, dan hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan seperti letak geografis,
dan sebagainya. Budaya yang tinggi akan menghasilkan nilai hidup yang tinggi.
Namun, sekalipun seseorang berbudaya tinggi, tidak berarti dia bisa dibenarkan
Alkitab. Atau sebaliknya, orang yang berbudaya luhur, sekalipun bukan Kristen,
bisa lebih baik dibanding orang Kristen yang tak punya budaya.
Tapi di sini
kita tidak membicarakan budaya sebagai satu kaitan dengan keimanan. Kita
berbicara mengenai budaya sebagai refleksi orang beriman. Kalau Anda orang
beriman, harus mampu merefleksikannya. Jadi, budaya itu harus kita junjung
tinggi. Tetapi budaya yang seperti apa? Tentu saja yang sepadan atau sejalan
dengan Alkitab.
Tuhan Yesus
memberi sikap yang tegas terhadap kebudayaan orang-orang Yahudi. Tuhan Yesus
tidak membatalkan tetapi menyempurnakan. Ini berarti bahwa kebudayaan di mata
Tuhan Yesus adalah sarana untuk menyampaikan kehendak-Nya. Bila kebudayaan itu
tidak menghalangi kehendak-Nya maka Tuhan Yesus membiarkan kebudayaan tersebut.
Contoh, Tuhan Yesus datang ke Bait Allah .Jika kebudayaan tersebut menghalangi
kehendak-Nya maka Tuhan Yesus akan menolak kebudayaan tersebut. Contoh. Tuhan
Yesus menyembuhkan orang pada hari Sabat. Ini berarti bahwa Yesus berada di
atas nilai-nilai kebudayaan.
Kebudayaan Suku
Toraja
KEBUDAYAAN TORAJA
Kebudayaan
Suku TORAJA adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara
Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 600.000 jiwa.
Mereka juga menetap di sebagian dataran Luwu dan Sulawesi Barat.
Nama Toraja
mulanya diberikan oleh suku Bugis Sidenreng dan dari Luwu. Orang Sidenreng
menamakan penduduk daerah ini dengan sebutan To Riaja yang mengandung arti
"Orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan", sedang orang
Luwu menyebutnya To Riajang yang artinya adalah "orang yang berdiam di
sebelah barat". Ada juga versi lain bahwa kata Toraya asal To = Tau
(orang), Raya = dari kata Maraya (besar), artinya orang orang besar, bangsawan.
Lama-kelamaan penyebutan tersebut menjadi Toraja, dan kata Tana berarti negeri,
sehingga tempat pemukiman suku Toraja dikenal kemudian dengan Tana Toraja.
Wilayah Tana
Toraja juga digelar Tondok Lilina Lapongan Bulan Tana Matari allo arti
harfiahnya adalah "Negeri yang bulat seperti bulan dan matahari".
Wilayah ini dihuni oleh etnis Toraja.
Kebudayaan Suku
Toraja
Asal masyarakat
Tana Toraja.
Konon, leluhur
orang Toraja adalah manusia yang berasal dari nirwana, mitos yang tetap
melegenda turun temurun hingga kini secara lisan dikalangan masyarakat Toraja
ini menceritakan bahwa nenek moyang masyarakat Toraja yang pertama menggunakan
"tangga dari langit" untuk turun dari nirwana, yang kemudian
berfungsi sebagai media komunikasi dengan Puang Matua (Tuhan Yang Maha Kuasa).
Lain lagi versi
dari DR. C. Cyrut seorang anthtropolog, dalam penelitiannya menuturkan bahwa
masyarakat Tana Toraja merupakan hasil dari proses akulturasi antara penduduk
local atau pribumi yang mendiami daratan Sulawesi Selatan dengan pendatang
imigran dari Teluk Tongkin-Yunnan, daratan China Selatan. Proses pembauran
antara kedua masyarakat tersebut, berawal dari berlabuhnya Imigran Indo China
dengan jumlah yang cukup banyak di sekitar hulu sungai yang diperkirakan
lokasinya di daerah Enrekang, kemudian para imigran ini, membangun pemukimannya
di daerah tersebut.
Kebudayaan Suku
Toraja
Sejarah Aluk
Konon manusia
yang turun ke bumi, telah dibekali dengan aturan keagamaan yang disebut aluk.
Aluk merupakan aturan keagamaan yang menjadi sumber dari budaya dan pandangan
hidup leluhur suku Toraja yang mengandung nilai-nilai religius yang mengarahkan
pola-pola tingkah laku hidup dan ritual suku Toraja untuk mengabdi kepada Puang
Matua.
Cerita tentang
perkembangan dan penyebaran Aluk terjadi dalam lima tahap, yakni:
Tipamulanna
Aluk ditampa dao langi' yakni permulaan penciptaan Aluk diatas langit, Mendemme'
di kapadanganna yakni Aluk diturunkan kebumi oleh Puang Buru Langi' dirura.
Kedua tahapan
ini lebih merupakan mitos. Dalam penelitian pada hakekatnya aluk merupakan
budaya/aturan hidup yang dibawa kaum imigran dari dataran Indo China pada
sekitar 3000 tahun sampai 500 tahun sebelum masehi.
Kebudayaan Suku
Toraja
Kambira –
Kuburan Bayi
Seseorang bayi yang belum tumbuh gigi apabila meninggal dunia akan
dikuburkan ke dalam sebatang pohon kayu yang hidup dari jenis pohon kayu Tarra.
Kayu yang digunakan dilokasi ini telah berumur sekitar ± 300 tahun yang lalu.
Proses pelaksanaan pekuburan sejenis ini mengenal tahap-tahap sebagai berikut:
Bayi yang meninggal dibalut dengan kain putih yang pernah dipakai dalam posisi
dalam keadaan dipangku.Kemudian keluarga memberi tanda pada pohon kayu yang
hendak digunakan sebagai kuburan (matanda kayu).Membuat lubang dengan ketentuan
tidak boleh berhadapan dengan rumah kediamannya.Mempersiapkan penutup kubur
dari bahan pelepah enau. Membuat tana (pasak) karurung dari ijuk sesuai
tingkatan strata sosialnya.12 tana karurung bagi tingkatan bangsawan. 8 tana
karurung bagi tingkatan menengah. 6 tana karurung bagi tingkatan bawah.
Makadende yaitu membuat tali ijuk sebelum jenasah dibawa ke kuburan, seekor
babi jantan hitam dipotong atau disembelih di halaman rumah duka, kemudian
dibawa ke kuburan dengan diusung. Setibanya di kuburan babi/daging tersebut
dimasak dalam bambu/dipiong, tanpa diberi garam atau bumbu lainnya setelah
semua itu siap mayat dibawah ke kuburan dengan syarat sebagai berikut: Dibawa
dalam posisi dipangku. Pengantar mayat baik laki-laki maupun perempuan harus
berselubung kain.
Dilarang
berbicara, menoleh ke kiri atau ke kanan maupun ke belakang. Setibanya jenasah
di pekuburan penjemput jenasah turun dari tangga lalu mengambil, mengangkat,
dan memasukkan jenasah ke dalam lubang kayu dalam posisi berlutut menghadap
keluar. Kemudian kubur itu ditutup dengan kulimbang di tanah dipasak sesuai
dengan statusnya dan sesudah ini dilapisi dengan ijuk dan diikat dengan kadende
(tali ijuk).Sepanjang kegiatan tersebut di atas, seluruh orang yang hadir
dilarang berbicara, nanti setelah mataletek pa piong (membelah bambu berisi
daging yang sudah masak) berarti orang sudah boleh berbicara dan orang yang
berada diatas tangga sudah boleh turun.
Makale, Ibu
kota Tana Toraja.
Pada asal
mulanya Makale berasal dari kata Makale menurut kata orang, penduduk yang hidup
di Makale senantiasa bangun pada waktu matahari belum terbit (Makale) oleh
karena leluhur mereka mempercayai bahwa orang yang bangun mendahului matahari
terbit (Makale) selalu mendapat keberuntungan atau rezeki. Tetapi karena
perubahan ucapan kata maka Makale. Makale adalah pusat pemerintahan dan juga
terkenal sebagai kota tenang dan damai. Di tengah-tengah kota Makale terdapat
sebuah kolam yang airnya jernih dan penuh berisi dengan bermacam jenis ikan.
Kolamnya di sebut kolam Makale.
Bukit-bukit
yang terjal dari kota dimahkotai oleh puncak menara gereja, sembari kaki lembah
didominasi oleh bangunan pemerintah yang baru. Banyak di antaranya mengambil
tipe bangunan rumah tradisional Toraja arsitektur yang penuh dengan ukiran dan
atap yang melengkung. Kota merupakan daerah yang tepat menghubungkan dengan
daerah Toraja barat, sekitar Londa, Suaya dan Sangalla. Pada saat pasar kota
ini merupakan pusat aktivitas karena rakyat dari jauh datang dengan hasil
produksinya berupa binatang, kerajinan tangan tikar, keranjang dan kerajinan
buatan lokal.
Kebudayaan Suku
Toraja
Suku Toraja
masih terikat oleh adat istiadat dan kepercayaan nenek moyang. Kepercayaan asli
masyarakat Tana Toraja yang disebut Aluk Todolo, kesadaran bahwa manusia hidup
di Bumi ini hanya untuk sementara, begitu kuat. Prinsipnya, selama tidak ada
orang yang bisa menahan Matahari terbenam di ufuk barat, kematian pun tak mungkin
bisa ditunda.
Sesuai mitos
yang hidup di kalangan pemeluk kepercayaan Aluk Todolo, seseorang yang telah
meninggal dunia pada akhirnya akan menuju ke suatu tempat yang disebut puyo;
dunia arwah, tempat berkumpulnya semua roh. Letaknya di bagian selatan tempat
tinggal manusia. Hanya saja tidak setiap arwah atau roh orang yang meninggal
itu dengan sendirinya bisa langsung masuk ke puyo. Untuk sampai ke sana perlu
didahului upacara penguburan sesuai status sosial semasa ia hidup. Jika tidak
diupacarakan atau upacara yang dilangsungkan tidak sempurna sesuai aluk, yang
bersangkutan tidak dapat mencapai puyo. Jiwanya akan tersesat.
"Agar jiwa
orang yang ’bepergian’ itu tidak tersesat, tetapi sampai ke tujuan, upacara
yang dilakukan harus sesuai aluk dan mengingat pamali. Ini yang disebut sangka’
atau darma, yakni mengikuti aturan yang sebenarnya. Kalau ada yang salah atau
biasa dikatakan salah aluk (tomma’ liong-liong), jiwa orang yang ’bepergian’
itu akan tersendat menuju siruga (surga)," kata Tato’ Denna’, salah satu
tokoh adat setempat, yang dalam stratifikasi penganut kepercayaan Aluk Todolo
mendapat sebutan Ne’ Sando.
Selama orang
yang meninggal dunia itu belum diupacarakan, ia akan menjadi arwah dalam wujud
setengah dewa. Roh yang merupakan penjelmaan dari jiwa manusia yang telah
meninggal dunia ini mereka sebut tomebali puang. Sambil menunggu korban
persembahan untuknya dari keluarga dan kerabatnya lewat upacara pemakaman,
arwah tadi dipercaya tetap akan memperhatikan dari dekat kehidupan keturunannya.
Oleh karena
itu, upacara kematian menjadi penting dan semua aluk yang berkaitan dengan
kematian sedapat mungkin harus dijalankan sesuai ketentuan. Sebelum menetapkan
kapan dan di mana jenazah dimakamkan, pihak keluarga harus berkumpul semua, hewan
korban pun harus disiapkan sesuai ketentuan. Pelaksanaannya pun harus
dilangsungkan sebaik mungkin agar kegiatan tersebut dapat diterima sebagai
upacara persembahan bagi tomebali puang mereka agar bisa mencapai puyo alias
surga
Bisa dimaklumi
bila dalam setiap upacara kematian di Tana Toraja pihak keluarga dan kerabat
almarhum berusaha untuk memberikan yang terbaik. Caranya adalah dengan
membekali jiwa yang akan bepergian itu dengan pemotongan hewan-biasanya berupa
kerbau dan babi sebanyak mungkin. Sesuai status sosial atau kedudukan orang
yang meninggal.Semakin tinggi status social orang tersebut, maka kerbau belang
atau babi yang dipotong semakin banyak. Harga kerbau mulai dari 40 juta rupiah
sampai 100 juta rupiah. Seseorang meninggal akan dibuat upacara adat setelah
menunggu dua sampai tiga tahun sampai terkumpulnya biaya upacara kematian. Para
penganut kepercayaan Aluk Todolo percaya bahwa roh binatang yang ikut
dikorbankan dalam upacara kematian tersebut akan mengikuti arwah orang yang
meninggal dunia tadi menuju ke puyo. Sehingga biaya untuk pemakaman lebih mahal
dari pada biaya pernikahan di Tana Toraja, Sulawesi Selatan.
Kepercayaan
pada Aluk Todolo pada hakikatnya berintikan pada dua hal, yaitu padangan
terhadap kosmos dan kesetiaan pada leluhur nenek moyang. Masing-masing memiliki
fungsi dan pengaturannya dalam kehidupan bermasyarakat. Jika terjadi kesalahan
dalam pelaksanaannya, sebutlah seperti dalam hal "mengurus dan
merawat" arwah para leluhur, bencana pun tak dapat dihindari.
Kebudayaan Suku
Toraja
Berbagai bentuk
tradisi yang dilakukan secara turun-temurun oleh para penganut kepercayaan Aluk
Todolo-termasuk ritus upacara kematian adat Tana Toraja yang sangat dikenal
luas itu-kini pun masih bisa disaksikan. Meski terjadi perubahan di sana-sini,
kebiasaan itu kini tak hanya dijalankan oleh para pemeluk Aluk Todolo,
masyarakat Tana Toraja yang sudah beragama Kristen dan Katolik pun umumnya
masih melaksanakannya. Sehingga menjadi suatu tugas para hamba Tuhan untuk
memberitakan injil yang sesuai dengan budaya setempat yang tidak bertentangan
dengan prinsip Alkitab. Bagi anak Tuhan di Tana Toraja terjadi suatu dilema dalam
memilih nilai tradisi atau prinsip Firman Tuhan. Bila terjadi perbedaan prinsip
budaya lokal dan Firman Tuhan maka Firman Tuhan harus menjadi prioritas diatas
budaya atau adat istiadat. Karena Tuhan adalah diatas semua pencipta kehidupan.
Karena Tuhan Yesus melampaui Hukum Taurat dan Tradisi Yahudi pada jaman
perjanjian baru.
Bagaimana iman
Kristen menyoroti budaya? Bagaimana kita melihat budaya?
Budaya harus
kita tempatkan pada proporsi yang pas, dan ukurannya adalah Alkitab, tidak ada
yang lain. Ketika Tuhan menciptakan manusia untuk beranak-cucu di muka bumi,
Tuhan juga memerintahkan manusia untuk mengasihi sesama seperti dirinya sendiri
(Mat 22: 39). Jadi, budaya adalah konteks di mana manusia berelasi satu dengan
yang lain. Budaya adalah konteks mengatur relasi itu sendiri sehingga manusia
saling menopang, bergotong-royong untuk menciptakan suatu sistem masyarakat
yang penuh dengan cinta kasih. Suatu sistem masyarakat yang saling mendukung.
Salah satu
definisi budaya adalah suatu tatanan nilai/adat istiadat, yang mengatur
kehidupan. Tapi, antara satu kelompok masyarakat dengan kelompok lain,
budayanya bisa berbeda, karena budaya sangat berkaitan dengan pengalaman hidup
suku itu, dan hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan seperti letak geografis,
dan sebagainya. Budaya yang tinggi akan menghasilkan nilai hidup yang tinggi.
Namun, sekalipun seseorang berbudaya tinggi, tidak berarti dia bisa dibenarkan
Alkitab. Atau sebaliknya, orang yang berbudaya luhur, sekalipun bukan Kristen,
bisa lebih baik dibanding orang Kristen yang tak punya budaya.
Tapi di sini
kita tidak membicarakan budaya sebagai satu kaitan dengan keimanan. Kita
berbicara mengenai budaya sebagai refleksi orang beriman. Kalau Anda orang
beriman, harus mampu merefleksikannya. Jadi, budaya itu harus kita junjung
tinggi. Tetapi budaya yang seperti apa? Tentu saja yang sepadan atau sejalan
dengan Alkitab.
Tuhan Yesus
memberi sikap yang tegas terhadap kebudayaan orang-orang Yahudi. Tuhan Yesus
tidak membatalkan tetapi menyempurnakan. Ini berarti bahwa kebudayaan di mata
Tuhan Yesus adalah sarana untuk menyampaikan kehendak-Nya. Bila kebudayaan itu
tidak menghalangi kehendak-Nya maka Tuhan Yesus membiarkan kebudayaan tersebut.
Contoh, Tuhan Yesus datang ke Bait Allah .Jika kebudayaan tersebut menghalangi
kehendak-Nya maka Tuhan Yesus akan menolak kebudayaan tersebut. Contoh. Tuhan
Yesus menyembuhkan orang pada hari Sabat. Ini berarti bahwa Yesus berada di
atas nilai-nilai kebudayaan.
Kebudayaan Suku
Toraja
KEBUDAYAAN TORAJA
Kebudayaan
Suku TORAJA adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara
Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 600.000 jiwa.
Mereka juga menetap di sebagian dataran Luwu dan Sulawesi Barat.
Nama Toraja
mulanya diberikan oleh suku Bugis Sidenreng dan dari Luwu. Orang Sidenreng
menamakan penduduk daerah ini dengan sebutan To Riaja yang mengandung arti
"Orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan", sedang orang
Luwu menyebutnya To Riajang yang artinya adalah "orang yang berdiam di
sebelah barat". Ada juga versi lain bahwa kata Toraya asal To = Tau
(orang), Raya = dari kata Maraya (besar), artinya orang orang besar, bangsawan.
Lama-kelamaan penyebutan tersebut menjadi Toraja, dan kata Tana berarti negeri,
sehingga tempat pemukiman suku Toraja dikenal kemudian dengan Tana Toraja.
Wilayah Tana
Toraja juga digelar Tondok Lilina Lapongan Bulan Tana Matari allo arti
harfiahnya adalah "Negeri yang bulat seperti bulan dan matahari".
Wilayah ini dihuni oleh etnis Toraja.
Kebudayaan Suku
Toraja
Asal masyarakat
Tana Toraja.
Konon, leluhur
orang Toraja adalah manusia yang berasal dari nirwana, mitos yang tetap
melegenda turun temurun hingga kini secara lisan dikalangan masyarakat Toraja
ini menceritakan bahwa nenek moyang masyarakat Toraja yang pertama menggunakan
"tangga dari langit" untuk turun dari nirwana, yang kemudian
berfungsi sebagai media komunikasi dengan Puang Matua (Tuhan Yang Maha Kuasa).
Lain lagi versi
dari DR. C. Cyrut seorang anthtropolog, dalam penelitiannya menuturkan bahwa
masyarakat Tana Toraja merupakan hasil dari proses akulturasi antara penduduk
local atau pribumi yang mendiami daratan Sulawesi Selatan dengan pendatang
imigran dari Teluk Tongkin-Yunnan, daratan China Selatan. Proses pembauran
antara kedua masyarakat tersebut, berawal dari berlabuhnya Imigran Indo China
dengan jumlah yang cukup banyak di sekitar hulu sungai yang diperkirakan
lokasinya di daerah Enrekang, kemudian para imigran ini, membangun pemukimannya
di daerah tersebut.
Kebudayaan Suku
Toraja
Sejarah Aluk
Konon manusia
yang turun ke bumi, telah dibekali dengan aturan keagamaan yang disebut aluk.
Aluk merupakan aturan keagamaan yang menjadi sumber dari budaya dan pandangan
hidup leluhur suku Toraja yang mengandung nilai-nilai religius yang mengarahkan
pola-pola tingkah laku hidup dan ritual suku Toraja untuk mengabdi kepada Puang
Matua.
Cerita tentang
perkembangan dan penyebaran Aluk terjadi dalam lima tahap, yakni:
Tipamulanna
Aluk ditampa dao langi' yakni permulaan penciptaan Aluk diatas langit, Mendemme'
di kapadanganna yakni Aluk diturunkan kebumi oleh Puang Buru Langi' dirura.
Kedua tahapan
ini lebih merupakan mitos. Dalam penelitian pada hakekatnya aluk merupakan
budaya/aturan hidup yang dibawa kaum imigran dari dataran Indo China pada
sekitar 3000 tahun sampai 500 tahun sebelum masehi.
Kebudayaan Suku
Toraja
Kambira –
Kuburan Bayi
Seseorang bayi yang belum tumbuh gigi apabila meninggal dunia akan
dikuburkan ke dalam sebatang pohon kayu yang hidup dari jenis pohon kayu Tarra.
Kayu yang digunakan dilokasi ini telah berumur sekitar ± 300 tahun yang lalu.
Proses pelaksanaan pekuburan sejenis ini mengenal tahap-tahap sebagai berikut:
Bayi yang meninggal dibalut dengan kain putih yang pernah dipakai dalam posisi
dalam keadaan dipangku.Kemudian keluarga memberi tanda pada pohon kayu yang
hendak digunakan sebagai kuburan (matanda kayu).Membuat lubang dengan ketentuan
tidak boleh berhadapan dengan rumah kediamannya.Mempersiapkan penutup kubur
dari bahan pelepah enau. Membuat tana (pasak) karurung dari ijuk sesuai
tingkatan strata sosialnya.12 tana karurung bagi tingkatan bangsawan. 8 tana
karurung bagi tingkatan menengah. 6 tana karurung bagi tingkatan bawah.
Makadende yaitu membuat tali ijuk sebelum jenasah dibawa ke kuburan, seekor
babi jantan hitam dipotong atau disembelih di halaman rumah duka, kemudian
dibawa ke kuburan dengan diusung. Setibanya di kuburan babi/daging tersebut
dimasak dalam bambu/dipiong, tanpa diberi garam atau bumbu lainnya setelah
semua itu siap mayat dibawah ke kuburan dengan syarat sebagai berikut: Dibawa
dalam posisi dipangku. Pengantar mayat baik laki-laki maupun perempuan harus
berselubung kain.
Dilarang
berbicara, menoleh ke kiri atau ke kanan maupun ke belakang. Setibanya jenasah
di pekuburan penjemput jenasah turun dari tangga lalu mengambil, mengangkat,
dan memasukkan jenasah ke dalam lubang kayu dalam posisi berlutut menghadap
keluar. Kemudian kubur itu ditutup dengan kulimbang di tanah dipasak sesuai
dengan statusnya dan sesudah ini dilapisi dengan ijuk dan diikat dengan kadende
(tali ijuk).Sepanjang kegiatan tersebut di atas, seluruh orang yang hadir
dilarang berbicara, nanti setelah mataletek pa piong (membelah bambu berisi
daging yang sudah masak) berarti orang sudah boleh berbicara dan orang yang
berada diatas tangga sudah boleh turun.
Makale, Ibu
kota Tana Toraja.
Pada asal
mulanya Makale berasal dari kata Makale menurut kata orang, penduduk yang hidup
di Makale senantiasa bangun pada waktu matahari belum terbit (Makale) oleh
karena leluhur mereka mempercayai bahwa orang yang bangun mendahului matahari
terbit (Makale) selalu mendapat keberuntungan atau rezeki. Tetapi karena
perubahan ucapan kata maka Makale. Makale adalah pusat pemerintahan dan juga
terkenal sebagai kota tenang dan damai. Di tengah-tengah kota Makale terdapat
sebuah kolam yang airnya jernih dan penuh berisi dengan bermacam jenis ikan.
Kolamnya di sebut kolam Makale.
Bukit-bukit
yang terjal dari kota dimahkotai oleh puncak menara gereja, sembari kaki lembah
didominasi oleh bangunan pemerintah yang baru. Banyak di antaranya mengambil
tipe bangunan rumah tradisional Toraja arsitektur yang penuh dengan ukiran dan
atap yang melengkung. Kota merupakan daerah yang tepat menghubungkan dengan
daerah Toraja barat, sekitar Londa, Suaya dan Sangalla. Pada saat pasar kota
ini merupakan pusat aktivitas karena rakyat dari jauh datang dengan hasil
produksinya berupa binatang, kerajinan tangan tikar, keranjang dan kerajinan
buatan lokal.
Kebudayaan Suku
Toraja
Suku Toraja
masih terikat oleh adat istiadat dan kepercayaan nenek moyang. Kepercayaan asli
masyarakat Tana Toraja yang disebut Aluk Todolo, kesadaran bahwa manusia hidup
di Bumi ini hanya untuk sementara, begitu kuat. Prinsipnya, selama tidak ada
orang yang bisa menahan Matahari terbenam di ufuk barat, kematian pun tak mungkin
bisa ditunda.
Sesuai mitos
yang hidup di kalangan pemeluk kepercayaan Aluk Todolo, seseorang yang telah
meninggal dunia pada akhirnya akan menuju ke suatu tempat yang disebut puyo;
dunia arwah, tempat berkumpulnya semua roh. Letaknya di bagian selatan tempat
tinggal manusia. Hanya saja tidak setiap arwah atau roh orang yang meninggal
itu dengan sendirinya bisa langsung masuk ke puyo. Untuk sampai ke sana perlu
didahului upacara penguburan sesuai status sosial semasa ia hidup. Jika tidak
diupacarakan atau upacara yang dilangsungkan tidak sempurna sesuai aluk, yang
bersangkutan tidak dapat mencapai puyo. Jiwanya akan tersesat.
"Agar jiwa
orang yang ’bepergian’ itu tidak tersesat, tetapi sampai ke tujuan, upacara
yang dilakukan harus sesuai aluk dan mengingat pamali. Ini yang disebut sangka’
atau darma, yakni mengikuti aturan yang sebenarnya. Kalau ada yang salah atau
biasa dikatakan salah aluk (tomma’ liong-liong), jiwa orang yang ’bepergian’
itu akan tersendat menuju siruga (surga)," kata Tato’ Denna’, salah satu
tokoh adat setempat, yang dalam stratifikasi penganut kepercayaan Aluk Todolo
mendapat sebutan Ne’ Sando.
Selama orang
yang meninggal dunia itu belum diupacarakan, ia akan menjadi arwah dalam wujud
setengah dewa. Roh yang merupakan penjelmaan dari jiwa manusia yang telah
meninggal dunia ini mereka sebut tomebali puang. Sambil menunggu korban
persembahan untuknya dari keluarga dan kerabatnya lewat upacara pemakaman,
arwah tadi dipercaya tetap akan memperhatikan dari dekat kehidupan keturunannya.
Oleh karena
itu, upacara kematian menjadi penting dan semua aluk yang berkaitan dengan
kematian sedapat mungkin harus dijalankan sesuai ketentuan. Sebelum menetapkan
kapan dan di mana jenazah dimakamkan, pihak keluarga harus berkumpul semua, hewan
korban pun harus disiapkan sesuai ketentuan. Pelaksanaannya pun harus
dilangsungkan sebaik mungkin agar kegiatan tersebut dapat diterima sebagai
upacara persembahan bagi tomebali puang mereka agar bisa mencapai puyo alias
surga
Bisa dimaklumi
bila dalam setiap upacara kematian di Tana Toraja pihak keluarga dan kerabat
almarhum berusaha untuk memberikan yang terbaik. Caranya adalah dengan
membekali jiwa yang akan bepergian itu dengan pemotongan hewan-biasanya berupa
kerbau dan babi sebanyak mungkin. Sesuai status sosial atau kedudukan orang
yang meninggal.Semakin tinggi status social orang tersebut, maka kerbau belang
atau babi yang dipotong semakin banyak. Harga kerbau mulai dari 40 juta rupiah
sampai 100 juta rupiah. Seseorang meninggal akan dibuat upacara adat setelah
menunggu dua sampai tiga tahun sampai terkumpulnya biaya upacara kematian. Para
penganut kepercayaan Aluk Todolo percaya bahwa roh binatang yang ikut
dikorbankan dalam upacara kematian tersebut akan mengikuti arwah orang yang
meninggal dunia tadi menuju ke puyo. Sehingga biaya untuk pemakaman lebih mahal
dari pada biaya pernikahan di Tana Toraja, Sulawesi Selatan.
Kepercayaan
pada Aluk Todolo pada hakikatnya berintikan pada dua hal, yaitu padangan
terhadap kosmos dan kesetiaan pada leluhur nenek moyang. Masing-masing memiliki
fungsi dan pengaturannya dalam kehidupan bermasyarakat. Jika terjadi kesalahan
dalam pelaksanaannya, sebutlah seperti dalam hal "mengurus dan
merawat" arwah para leluhur, bencana pun tak dapat dihindari.
Kebudayaan Suku
Toraja
Berbagai bentuk
tradisi yang dilakukan secara turun-temurun oleh para penganut kepercayaan Aluk
Todolo-termasuk ritus upacara kematian adat Tana Toraja yang sangat dikenal
luas itu-kini pun masih bisa disaksikan. Meski terjadi perubahan di sana-sini,
kebiasaan itu kini tak hanya dijalankan oleh para pemeluk Aluk Todolo,
masyarakat Tana Toraja yang sudah beragama Kristen dan Katolik pun umumnya
masih melaksanakannya. Sehingga menjadi suatu tugas para hamba Tuhan untuk
memberitakan injil yang sesuai dengan budaya setempat yang tidak bertentangan
dengan prinsip Alkitab. Bagi anak Tuhan di Tana Toraja terjadi suatu dilema dalam
memilih nilai tradisi atau prinsip Firman Tuhan. Bila terjadi perbedaan prinsip
budaya lokal dan Firman Tuhan maka Firman Tuhan harus menjadi prioritas diatas
budaya atau adat istiadat. Karena Tuhan adalah diatas semua pencipta kehidupan.
Karena Tuhan Yesus melampaui Hukum Taurat dan Tradisi Yahudi pada jaman
perjanjian baru.
Bagaimana iman
Kristen menyoroti budaya? Bagaimana kita melihat budaya?
Budaya harus
kita tempatkan pada proporsi yang pas, dan ukurannya adalah Alkitab, tidak ada
yang lain. Ketika Tuhan menciptakan manusia untuk beranak-cucu di muka bumi,
Tuhan juga memerintahkan manusia untuk mengasihi sesama seperti dirinya sendiri
(Mat 22: 39). Jadi, budaya adalah konteks di mana manusia berelasi satu dengan
yang lain. Budaya adalah konteks mengatur relasi itu sendiri sehingga manusia
saling menopang, bergotong-royong untuk menciptakan suatu sistem masyarakat
yang penuh dengan cinta kasih. Suatu sistem masyarakat yang saling mendukung.
Salah satu
definisi budaya adalah suatu tatanan nilai/adat istiadat, yang mengatur
kehidupan. Tapi, antara satu kelompok masyarakat dengan kelompok lain,
budayanya bisa berbeda, karena budaya sangat berkaitan dengan pengalaman hidup
suku itu, dan hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan seperti letak geografis,
dan sebagainya. Budaya yang tinggi akan menghasilkan nilai hidup yang tinggi.
Namun, sekalipun seseorang berbudaya tinggi, tidak berarti dia bisa dibenarkan
Alkitab. Atau sebaliknya, orang yang berbudaya luhur, sekalipun bukan Kristen,
bisa lebih baik dibanding orang Kristen yang tak punya budaya.
Tapi di sini
kita tidak membicarakan budaya sebagai satu kaitan dengan keimanan. Kita
berbicara mengenai budaya sebagai refleksi orang beriman. Kalau Anda orang
beriman, harus mampu merefleksikannya. Jadi, budaya itu harus kita junjung
tinggi. Tetapi budaya yang seperti apa? Tentu saja yang sepadan atau sejalan
dengan Alkitab.
Tuhan Yesus
memberi sikap yang tegas terhadap kebudayaan orang-orang Yahudi. Tuhan Yesus
tidak membatalkan tetapi menyempurnakan. Ini berarti bahwa kebudayaan di mata
Tuhan Yesus adalah sarana untuk menyampaikan kehendak-Nya. Bila kebudayaan itu
tidak menghalangi kehendak-Nya maka Tuhan Yesus membiarkan kebudayaan tersebut.
Contoh, Tuhan Yesus datang ke Bait Allah .Jika kebudayaan tersebut menghalangi
kehendak-Nya maka Tuhan Yesus akan menolak kebudayaan tersebut. Contoh. Tuhan
Yesus menyembuhkan orang pada hari Sabat. Ini berarti bahwa Yesus berada di
atas nilai-nilai kebudayaan.
Kebudayaan Suku
Toraja
TONGKONAN
Marilah kita bisikkan
Tuhanku Yang Maha Penyayang
Bebaskanlah akalku dari mimpi buruknya
...agar jelas kulihat pengertianku
sebagai jalan besar menuju kebahagiaanku
dan hatiku sebagai jalan masuknya bimbingan-Mu.
Jika ketertarikanku adalah mengupayakan kegembiraan,
kedamaian, dan kesyukuran dalam keseharian hidupku,
maka tumbuhlah kebahagiaanku.
Dan dengannya Engkau memuliakan aku,
kekasihku, dan keturunanku.
Ada orang yang lebih bersemangat
mempersiapkan PESTA pernikahannya
daripada mempersiapkan KEHIDUPAN pernikahannya.
Bahkan ada pernikahan yang batal karena kedua keluarga
...bertikai tentang rencana pestanya.
Bukankah lebih indah jika mereka berfokus
pada keharmonisan hati dan pikiran
bagi dua jiwa yang akan hidup bersahabat
dalam suka dan duka, dalam sehat dan sakit,
dan dalam kekurangan dan kelebihan?
Keluarga
Keluarga adalah kelompok sosial dan politik utama dalam suku Toraja. Setiap desa adalah suatu keluarga besar. Setiap tongkonan memiliki nama yang dijadikan sebagai nama desa. Keluarga ikut memelihara persatuan desa. Pernikahan dengan sepupu jauh (sepupu keempat dan seterusnya) adalah praktek umum yang memperkuat hubungan kekerabatan.Suku Toraja melarang pernikahan dengan sepupu dekat (sampai dengan sepupu ketiga) kecuali untuk bangsawan, untuk mencegah penyebaran harta.[13] Hubungan kekerabatan berlangsung secara timbal balik, dalam artian bahwa keluarga besar saling menolong dalam pertanian, berbagi dalam ritual kerbau, dan saling membayarkan hutang.
Setiap orang menjadi anggota dari keluarga ibu dan ayahnya.[14] Anak, dengan demikian, mewarisi berbagai hal dari ibu dan ayahnya, termasuk tanah dan bahkan utang keluarga. Nama anak diberikan atas dasar kekerabatan, dan biasanya dipilih berdasarkan nama kerabat yang telah meninggal. Nama bibi, paman dan sepupu yang biasanya disebut atas nama ibu, ayah dan saudara kandung.
Sebelum adanya pemerintahan resmi oleh pemerintah kabupaten Tana Toraja, masing-masing desa melakukan pemerintahannya sendiri. Dalam situasi tertentu, ketika satu keluarga Toraja tidak bisa menangani masalah mereka sendiri, beberapa desabiasanya membentuk kelompok; kadang-kadang, bebrapa desa akan bersatu melawan desa-desa lain Hubungan antara keluarga diungkapkan melalui darah, perkawinan, dan berbagi rumah leluhur (tongkonan), secara praktis ditandai oleh pertukaran kerbau dan babi dalam ritual. Pertukaran tersebut tidak hanya membangun hubungan politik dan budaya antar keluarga tetapi juga menempatkan masing-masing orang dalam hierarki sosial: siapa yang menuangkan tuak, siapa yang membungkus mayat dan menyiapkan persembahan, tempat setiap orang boleh atau tidak boleh duduk, piring apa yang harus digunakan atau dihindari, dan bahkan potongan daging yang diperbolehkan untuk masing-masing orang.[15]
[sunting]Kelas sosial
Dalam masyarakat Toraja awal, hubungan keluarga bertalian dekat dengan kelas sosial. Ada tiga tingkatan kelas sosial: bangsawan, orang biasa, dan budak (perbudakan dihapuskan pada tahun 1909 oleh pemerintah Hindia Belanda). Kelas sosial diturunkan melalui ibu. Tidak diperbolehkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih rendah tetapi diizinkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih tingi, ini bertujuan untuk meningkatkan status pada keturunan berikutnya. Sikap merendahkan dari Bangsawan terhadap rakyat jelata masih dipertahankan hingga saat ini karena alasan martabat keluarga.[5]
Kaum bangsawan, yang dipercaya sebagai keturunan dari surga,[16] tinggal di tongkonan, sementara rakyat jelata tinggal di rumah yang lebih sederhana (pondok bambu yang disebut banua). Budak tinggal di gubuk kecil yang dibangun di dekat tongkonan milik tuan mereka. Rakyat jelata boleh menikahi siapa saja tetapi para bangsawan biasanya melakukan pernikahan dalam keluarga untuk menjaga kemurnian status mereka. Rakyat biasa dan budak dilarang mengadakan perayaan kematian. Meskipun didasarkan pada kekerabatan dan status keturunan, ada juga beberapa gerak sosialyang dapat memengaruhi status seseorang, seperti pernikahan atau perubahan jumlah kekayaan.[13] Kekayaan dihitung berdasarkan jumlah kerbau yang dimiliki.
Budak dalam masyarakat Toraja merupakan properti milik keluarga. Kadang-kadang orang Toraja menjadi budak karena terjerat utang dan membayarnya dengan cara menjadi budak. Budak bisa dibawa saat perang, dan perdagangan budak umum dilakukan. Budak bisa membeli kebebasan mereka, tetapi anak-anak mereka tetap mewarisi status budak. Budak tidak diperbolehkan memakai perunggu atau emas, makan dari piring yang sama dengan tuan mereka, atau berhubungan seksual dengan perempuan merdeka. Hukuman bagi pelanggaran tersebut yaitu hukuman mati.
[sunting]Agama
Sistem kepercayaan tradisional suku Toraja adalah kepercayaan animisme politeistik yang disebut aluk, atau "jalan" (kadang diterjemahkan sebagai "hukum"). Dalam mitos Toraja, leluhur orang Toraja datang dari surga dengan menggunakan tangga yang kemudian digunakan oleh suku Toraja sebagai cara berhubungan dengan Puang Matua, dewa pencipta.[17] Alam semesta, menurut aluk, dibagi menjadi dunia atas (Surga) dunia manusia (bumi), dan dunia bawah.[9] Pada awalnya, surga dan bumi menikah dan menghasilkan kegelapan, pemisah, dan kemudian muncul cahaya. Hewan tinggal di dunia bawah yang dilambangkan dengan tempat berbentuk persegi panjang yang dibatasi oleh empat pilar, bumi adalah tempat bagi umat manusia, dan surga terletak di atas, ditutupi dengan atap berbetuk pelana. Dewa-dewa Toraja lainnya adalah Pong Banggai di Rante (dewa bumi), Indo' Ongon-Ongon (dewi gempa bumi), Pong Lalondong (dewa kematian), Indo' Belo Tumbang (dewi pengobatan), dan lainnya.[18]
Kekuasaan di bumi yang kata-kata dan tindakannya harus dipegang baik dalam kehidupan pertanian maupun dalam upacara pemakaman, disebut to minaa (seorang pendeta aluk). Aluk bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi juga merupakan gabungan dari hukum, agama, dan kebiasaaan. Aluk mengatur kehidupan bermasyarakat, praktik pertanian, dan ritual keagamaan. Tata cara Aluk bisa berbeda antara satu desa dengan desa lainnya. Satu hukum yang umum adalah peraturan bahwa ritual kematian dan kehidupan harus dipisahkan. Suku Toraja percaya bahwa ritual kematian akan menghancurkan jenazah jika pelaksanaannya digabung dengan ritual kehidupan.[19] Kedua ritual tersebut sama pentingnya. Ketika ada para misionaris dari Belanda, orang Kristen Toraja tidak diperbolehkan menghadiri atau menjalankan ritual kehidupan, tetapi diizinkan melakukan ritual kematian.[10] Akibatnya, ritual kematian masih sering dilakukan hingga saat ini, tetapi ritual kehidupan sudah mulai jarang dilaksanakan.
[sunting]Kebudayaan
[sunting]Tongkonan
Tongkonan adalah rumah tradisional Toraja yang berdiri di atas tumpukan kayu dan dihiasi dengan ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning. Kata "tongkonan" berasal dari bahasa Toraja tongkon ("duduk").
Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja oleh karena itu semua anggota keluarga diharuskan ikut serta karena Tongkonan melambangan hubungan mereka dengan leluhur mereka.[15] Menurut cerita rakyat Toraja, tongkonan pertama dibangun di surga dengan empat tiang. Ketika leluhur suku Toraja turun ke bumi, dia meniru rumah tersebut dan menggelar upacara yang besar.[20]
Pembangunan tongkonan adalah pekerjaan yang melelahkan dan biasanya dilakukan dengan bantuan keluarga besar. Ada tiga jenis tongkonan. Tongkonan layuk adalah tempat kekuasaan tertinggi, yang digunakan sebagai pusat "pemerintahan". Tongkonan pekamberan adalah milik anggota keluarga yang memiliki wewenang tertentu dalam adat dan tradisi lokal sedangkan anggota keluarga biasa tinggal di tongkonan batu. Eksklusifitas kaum bangsawan atas tongkonan semakin berkurang seiring banyaknya rakyat biasa yang mencari pekerjaan yang menguntungkan di daerah lain di Indonesia. Setelah memperoleh cukup uang, orang biasa pun mampu membangun tongkonan yang besar.
[sunting]Ukiran kayu
Bahasa Toraja hanya diucapkan dan tidak memiliki sistem tulisan.[21] Untuk menunjukkan kosep keagamaan dan sosial, suku Toraja membuat ukiran kayu dan menyebutnya Pa'ssura (atau "tulisan"). Oleh karena itu, ukiran kayu merupakan perwujudan budaya Toraja.
Setiap ukiran memiliki nama khusus. Motifnya biasanya adalah hewan dan tanaman yang melambangkan kebajikan, contohnya tanaman air sepertigulma air dan hewan seperti kepiting dan kecebong yang melambangkan kesuburan. Gambar kiri memperlihatkan contoh ukiran kayu Toraja, terdiri atas 15 panel persegi. Panel tengah bawah melambangkan kerbau atau kekayaan, sebagai harapan agar suatu keluarga memperoleh banyak kerbau. Panel tengah melambangkan simpul dan kotak, sebuah harapan agar semua keturunan keluarga akan bahagia dan hidup dalam kedamaian, seperti barang-barang yang tersimpan dalam sebuah kotak. Kotak bagian kiri atas dan kanan atas melambangkan hewan air, menunjukkan kebutuhan untuk bergerak cepat dan bekerja keras, seperti hewan yang bergerak di permukaan air. Hal Ini juga menunjukkan adanya kebutuhan akan keahlian tertentu untuk menghasilkan hasil yang baik.
Keteraturan dan ketertiban merupakan ciri umum dalam ukiran kayu Toraja (lihat desain tabel di bawah), selain itu ukiran kayu Toraja juga abstrak dan geometris. Alam sering digunakan sebagai dasar dari ornamen Toraja, karena alam penuh dengan abstraksi dan geometri yang teratur.[21] Ornamen Toraja dipelajari dalam ethnomatematika dengan tujuan mengungkap struktur matematikanya meskipun suku Toraja membuat ukiran ini hanya berdasarkan taksiran mereka sendiri.[21] Suku Toraja menggunakan bambu untuk membuat oranamen geometris.
sumber:[22] |
[sunting]Upacara pemakaman
Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang paling penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal. Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar pesta pemakaman yang besar. Pesta pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh ribuan orang dan berlangsung selama beberapa hari. Sebuah tempat prosesi pemakaman yang disebut rante biasanya disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas, selain sebagai tempat pelayat yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan berbagai perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh keluarga yang ditinggalkan. Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan ratapan merupakan ekspresi duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua itu tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang kelas rendah.[23]
Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya pemakaman.[24] Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat). Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan di bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke Puya.[25]
Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau. Semakin berkuasa seseorang maka semakin banyak kerbau yang disembelih. Penyembelihan dilakukan dengan menggunakan golok. Bangkai kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan di padang, menunggu pemiliknya, yang sedang dalam "masa tertidur". Suku Toraja percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan akan lebih cepat sampai di Puyajika ada banyak kerbau. Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan puncak upacara pemakaman yang diringi musik dan tarian para pemuda yang menangkap darah yang muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging tersebut diberikan kepada para tamu dan dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum.[26]
Ada tiga cara pemakaman: Peti mati dapat disimpan di dalam gua, atau di makam batu berukir, atau digantung di tebing. Orang kaya kadang-kadang dikubur di makam batu berukir. Makam tersebut biasanya mahal dan waktu pembuatannya sekitar beberapa bulan. Di beberapa daerah, gua batu digunakan untuk meyimpan jenazah seluruh anggota keluarga. Patung kayu yang disebut tau tau biasanya diletakkan di gua dan menghadap ke luar.[27]Peti mati bayi atau anak-anak digantung dengan tali di sisi tebing. Tali tersebut biasanya bertahan selama setahun sebelum membusuk dan membuat petinya terjatuh.
[sunting]Musik dan Tarian
Suku Toraja melakukan tarian dalam beberapa acara, kebanyakan dalam upacara penguburan. Mereka menari untuk menunjukkan rasa duka cita, dan untuk menghormati sekaligus menyemangati arwah almarhum karena sang arwah akan menjalani perjalanan panjang menuju akhirat. Pertama-tama, sekelompok pria membentuk lingkaran dan menyanyikan lagu sepanjang malam untuk menghormati almarhum (ritual terseebut disebut Ma'badong).[6][26] Ritual tersebut dianggap sebagai komponen terpenting dalam upacara pemakaman.[23] Pada hari kedua pemakaman, tarian prajuritMa'randing ditampilkan untuk memuji keberanian almarhum semasa hidupnya. Beberapa orang pria melakukan tarian dengan pedang, prisai besar dari kulit kerbau, helm tanduk kerbau, dan berbagai ornamen lainnya. Tarian Ma'randing mengawali prosesi ketika jenazah dibawa dari lumbung padi menuju rante, tempat upacara pemakaman. Selama upacara, para perempuan dewasa melakukan tarian Ma'katia sambil bernyanyi dan mengenakan kostum baju berbulu. Tarian Ma'akatia bertujuan untuk mengingatkan hadirin pada kemurahan hati dan kesetiaan almarhum. Setelah penyembelihan kerbau dan babi, sekelompok anak lelaki dan perempuan bertepuk tangan sambil melakukan tarian ceria yang disebut Ma'dondan.
Seperti di masyarakat agraris lainnya, suku Toraja bernyanyi dan menari selama musim panen. Tarian Ma'bugi dilakukan untuk merayakan Hari Pengucapan Syukur dan tarian Ma'gandangi ditampilkan ketika suku Toraja sedang menumbuk beras[28] Ada beberapa tarian perang, misalnya tarianManimbong yang dilakukan oleh pria dan kemudian diikuti oleh tarian Ma'dandan oleh perempuan. Agama Aluk mengatur kapan dan bagaimana suku Toraja menari. Sebuah tarian yang disebut Ma'bua hanya bisa dilakukan 12 tahun sekali. Ma'bua adalah upacara Toraja yang penting ketika pemuka agama mengenakan kepala kerbau dan menari di sekeliling pohon suci.
Alat musik tradisional Toraja adalah suling bambu yang disebut Pa'suling. Suling berlubang enam ini dimainkan pada banyak tarian, seperti pada tarianMa'bondensan, ketika alat ini dimainkan bersama sekelompok pria yang menari dengan tidak berbaju dan berkuku jari panjang. Suku Toraja juga mempunyai alat musik lainnya, misalnya Pa'pelle yang dibuat dari daun palem dan dimainkan pada waktu panen dan ketika upacara pembukaan rumah.[29]
[sunting]Bahasa
Bahasa Toraja adalah bahasa yang dominan di Tana Toraja, dengan Sa'dan Toraja sebagai dialek bahasa yang utama. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional adalah bahasa resmi dan digunakan oleh masyarakat,[1] akan tetapi bahasa Toraja pun diajarkan di semua sekolah dasar di Tana Toraja.
Ragam bahasa di Toraja antara lain Kalumpang, Mamasa, Tae' , Talondo' , Toala' , dan Toraja-Sa'dan, dan termasuk dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia dari bahasa Austronesia.[30] Pada mulanya, sifat geografis Tana Toraja yang terisolasi membentuk banyak dialek dalam bahasa Toraja itu sendiri. Setelah adanya pemerintahan resmi di Tana Toraja, beberapa dialek Toraja menjadi terpengaruh oleh bahasa lain melalui proses transmigrasi, yang diperkenalkan sejak masa penjajahan. Hal itu adalah penyebab utama dari keragaman dalam bahasa Toraja.[6]
Denominasi | Populasi (pada tahun) | Dialek | |||
---|---|---|---|---|---|
Kalumpang | 12,000 (1991) | Karataun, Mablei, Mangki (E'da), Bone Hau (Ta'da). | |||
Mamasa | 100,000 (1991) | Mamasa Utara, Mamasa tengah, Pattae' (Mamasa Selatan, Patta' Binuang, Binuang, Tae', Binuang-Paki-Batetanga-Anteapi) | |||
Ta'e | 250,000 (1992) | Rongkong, Luwu Timur Laut, Luwu Selatan, Bua. | |||
Talondo' | 500 (1986) | ||||
Toala' | 30,000 (1983) | Toala', Palili'. | |||
Torajan-Sa'dan | 500,000 (1990) | Makale (Tallulembangna), Rantepao (Kesu'), Toraja Barat (Toraja Barat, Mappa-Pana). | |||
Sumber: Gordon (2005).[30] |
Ciri yang menonjol dalam bahasa Toraja adalah gagasan tentang duka cita kematian. Pentingnya upacara kematian di Toraja telah membuat bahasa mereka dapat mengekspresikan perasaan duka cita dan proses berkabung dalam beberapa tingkatan yang rumit.[23] Bahasa Toraja mempunyai banyak istilah untuk menunjukkan kesedihan, kerinduan, depresi, dan tekanan mental. Merupakan suatu katarsis bagi orang Toraja apabila dapat secara jelas menunjukkan pengaruh dari peristiwa kehilangan seseorang; hal tersebut kadang-kadang juga ditujukan untuk mengurangi penderitaan karena duka cita itu sendiri.
[sunting]Ekonomi
Sebelum masa Orde Baru, ekonomi Toraja bergantung pada pertanian dengan adanya terasering di lereng-lereng gunung dan bahan makanan pendukungnya adalah singkong dan jagung. Banyak waktu dan tenaga dihabiskan suku Toraja untuk berternak kerbau, babi, dan ayam yang dibutuhkan terutama untuk upacara pengorbanan dan sebagai makanan.[11] Satu-satunya industri pertanian di Toraja adalah pabrik kopi Jepang, Kopi Toraja.
Dengan dimulainya Orde Baru pada tahun 1965, ekonomi Indonesia mulai berkembang dan membuka diri pada investasi asing. Banyak perusahaan minyak dan pertambangan Multinasional membuka usaha baru di Indonesia. Masyarakat Toraja, khususnya generasi muda, banyak yang berpindah untuk bekerja di perusahaan asing. Mereka pergi ke Kalimantan untuk kayu dan minyak, ke Papuauntuk menambang, dan ke kota-kota di Sulawesi dan Jawa. Perpindahan ini terjadi sampai tahun 1985.[2]
Ekonomi Toraja secara bertahap beralih menjadi pariwisata berawal pada tahun 1984. Antara tahun 1984 dan 1997, masyarakat Toraja memperoleh pendapatan dengan bekerja di hotel, menjadi pemandu wisata, atau menjual cinderamata. Timbulnya ketidakstabilan politik dan ekonomi Indonesia pada akhir 1990-an (termasuk berbagai konflik agama di Sulawesi) telah menyebabkan pariwisata Toraja menurun secara drastis.
[sunting]Komersialisasi
Makam suku Toraja di tebing tinggi berbatu adalah salah satu tempat wisata di Tana Toraja.
Sebelum tahun 1970-an, Toraja hampir tidak dikenal oleh wisatawan barat. Pada tahun 1971, sekitar 50 orang Eropa mengunjungi Tana Toraja. Pada 1972, sedikitnya 400 orang turis menghadiri upacara pemakaman Puang dari Sangalla, bangsawan tertinggi di Tana Toraja dan bangsawan Toraja terakhir yang berdarah murni. Peristiwa tersebut didokumentasikan oleh National Geographic dan disiarkan di beberapa negara Eropa.[2] Pada 1976, sekitar 12,000 wisatawan mengunjungi Toraja dan pada 1981, seni patung Toraja dipamerkan di banyak museum di Amerika Utara.[31] "Tanah raja-raja surgawi di Toraja", seperti yang tertulis di brosur pameran, telah menarik minat dunia luar..
Pada tahun 1984, Kementerian Pariwisata Indonesia menyatakan Kabupaten Toraja sebagai primadona Sulawesi Selatan. Tana Toraja dipromosikan sebagai "perhentian kedua setelah Bali".[5] Pariwisata menjadi sangat meningkat: menjelang tahun 1985, terdapat 150.000 wisatawan asing yang mengunjungi Tana Toraja (selain 80.000 turis domestik),[4] dan jumlah pengunjung asing tahunan tercatat sebanyak 40.000 orang pada tahun 1989.[2]Suvenir dijual di Rantepao, pusat kebudayaan Toraja, banyak hotel dan restoran wisata yang dibuka, selain itu dibuat sebuah lapangan udara baru pada tahun 1981.[15]
Para pengembang pariwisata menjadikan Toraja sebagai daerah petualangan yang eksotis, memiliki kekayaan budaya dan terpencil. Wisatawan Barat dianjurkan untuk mengunjungi desa zaman batu dan pemakaman purbakala. Toraja adalah tempat bagi wisatawan yang telah mengunjungi Bali dan ingin melihat pulau-pulau lain yang liar dan "belum tersentuh".[2] Tetapi suku Toraja merasa bahwa tongkonan dan berbagai ritual Toraja lainnya telah dijadikan sarana mengeruk keuntungan, dan mengeluh bahwa hal tersebut terlalu dikomersilkan. Hal ini berakibat pada beberapa bentrokan antara masyarakat Toraja dan pengembang pariwisata, yang dianggap sebagai orang luar oleh suku Toraja.[4]
Bentrokan antara para pemimpin lokal Toraja dan pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan (sebagai pengembang wisata) terjadi pada tahun 1985. Pemerintah menjadikan 18 desa Toraja dan tempat pemakaman tradisional sebagai "objek wisata". Akibatnya, beberapa pembatasan diterapkan pada daerah-daerah tersebut, misalnya orang Toraja dilarang mengubah tongkonan dan tempat pemakaman mereka. Hal tersebut ditentang oleh beberapa pemuka masyarakat Toraja, karena mereka merasa bahwa ritual dan tradisi mereka telah ditentukan oleh pihak luar. Akibatnya, pada tahun 1987 desa Kete Kesu dan beberapa desa lainnya yang ditunjuk sebagai "objek wisata" menutup pintu mereka dari wisatawan. Namun penutupan ini hanya berlangsung beberapa hari saja karena penduduk desa merasa sulit bertahan hidup tanpa pendapatan dari penjualan suvenir.[4]
Pariwisata juga turut mengubah masyarakat Toraja. Dahulu terdapat sebuah ritual yang memungkinkan rakyat biasa untuk menikahi bangsawan (Puang), dan dengan demikian anak mereka akan mendapatkan gelar bangsawan. Namun, citra masyarakat Toraja yang diciptakan untuk para wisatawan telah mengikis hirarki tradisionalnya yang ketat,[5] sehingga status kehormatan tidak lagi dipandang seperti sebelumnya. Banyak laki-laki biasa dapat saja menyatakan diri dan anak-anak mereka sebagai bangsawan, dengan cara memperoleh kekayaan yang cukup lalu menikahi perempuan bangsawan.
Langganan:
Postingan (Atom)